Jumat, 02 Desember 2011

Sejarah Bangsa Maluku...

Sejarah Bangsa Maluku... (disalin dari catatan Oom Ivan Titawanno)

" Tulisan ini sebelumnya pernah gw posting di FB gw. Tapi gw rasa gak ada salahnya gw masukin juga di sini! "

Berdasarkan catatan dan penuturan kakek moyang, masyarakat Maluku Tengah berasal dari Nusa Ina, yang artinya Pulau Ibu, yakni pulau Seram. Bermula mereka bermukim di puncak gunung yang bernama Gunung Nunusaku. Nama Nunusaku bagi masyarakat Maluku Tengah yang masih menghayati adat istiadatnya, adalah lambang persatuan yang bersifat sakral. 
Tatkala kakek moyang masih bermukim di puncak Nunusaku, mereka bernaung di bawah suatu pemerintahan adat yang dipimpin oleh suatu kepala adat. Namanya Upulatu Maarihuno.Upu, artinya tuan (bersifat kebapaan). Latu, artinya kekuasaan/ keperintahan, Maa, artinya orang-orang atau manusia, Rihuun, artinya beribu-ribu (banyak). Dengan demikian, Upulatu Maarihuno, artinya secara bebas adalah Tuan atau Bapak yang memiliki kekuasaan keperintahan atas masyarakat.
Kabarnya, setelah terjadi peristiwa Rapia Hainuwele, terjadilah perpisahan dan perpecahan antara saudara bersaudara di lingkungan masyarakat tersebut. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Heka Nunusaku. Heka artinya buka atau pisah. Nunu, artinya beringin. Saku, artinya pelindung. Dengan demikian, Heka Nunusaku berarti perpisahan dengan beringin pelindung. Akibatnya peristiwa itu, merekapun turun dari puncak gunung, terbagi-bagi bercerai-berai dalam kelompok kecil mencari tanah yang datar di pesisir pantai.
Kapata atau syair-syair dalam bentuk nyanyian, merupakan bahan bukti sejarah yang menggambarkan peristiwa tersebut. Misalnya nyanyian yang berbunyi, Nunu e Nunu e, Nusaku Ie Nusa Ina. Suru Siwa lima o, Lau Latane Samsuru (artinya, O beringin-beringin pelindung di Nusa Ina, menurunkan Pata Siwa Pata Lima, terbagi-bagi turun ke pasir pantai….).
Kebiasaan ini turun temurun sampai sekarang. Masyarakat maluku pada umumnya akan menciptakan lagu atau nyanyian kalau terjadi sesuatu peristiwa di sekitarnya. Misalnya, tenggelamnya Motor Oni, hilangnya Motor Geser sampai jatuhnya pesawat Mandala 24 Juli 1992 di Lilibooi. Nyanyian tentang peristiwa itu sudah diciptakan, yang mana kaset-kasetnya pun banyak di pasaran.
Setelah anak-anak Siwa Lima turun dari Nunusaku dan menetap di pesisir pantai, mereka belum memiliki pemerintahan yang dapat mengatur antar mereka. Masing-masing keluarga, atau yang dikenal dengan istilah ‘Dati’, atau Ruma tau’ atau ‘Luma Inai’ mengatur dan mengurus kepentingan dan kebutuhan nya sendiri-sendiri.
Tapi, lama kelamaan, mereka mulai merasakan adnaya suatu kebutuhan yang perlu diusahakan bersama. Karena itu, untuk pertama kali mereka bentuklah suatu ikatan atau gabungan yang terdiri dari beberapa keluarga. Gabungan beberapa dari atau Ruma Tau, atau Luma Inai ini disebut Soa atau Usu bahasa asingnya Clan.
Di lingkungan Soa ini, setiap anggota memilih seorang yang terbaik di antara mereka. Kemudian dinobatkan menjadi pemimpin. Pemimpinini disebut Kepala Soa. Di dalam bahasa aslinya disebut Tamaele. Jabatan ini secara adat berlaku turun temurun sampai sekarang. Kalau bukan keturunan Kepala Soa tidak dapat dibenarkan untuk memangku jabatan tersebut. Bagi yang memaksakan atau mencoba-coba memanipulasinya, menurut kepercayaan masyarakat akan turun sanksinya secara gaib.
Tamaele, terdiri dari tama yang artinya, orang atau bapak. Sedangkan ele, artinya secara harfiah besar. Tapi dalam hal ini berarti pembesar atau pemuka masyarakat. Tamaele punya kedudukan terhormat dalam masyarakat hukum adat. Istilah Soa, yang juga punya arti rumah adat, disebut Soano atua juga Utario. Dalam bahasa sehari-hari disebut Baeleo. Artinya temapt musyawarah. Soano atau Utario atau Baeleo ini merupakan lambang persekutuan masyarakat hukum adat di Maluku Tengah.
Sesuai dengan perputaran waktu, kebutuhan bersama semakin banyak dan berkembang. Terjadilah penggabungan tahap kedua. Beberapa Soa menggabungkan diri dalam satu kesatuan yang dikenal dengan sebutan Amano. Artinya tidak lain adalah Negeri. Di Minangkabau disebut Nagari. Sedangkan Ama, artinya ayah atau bapak.
Setiap Amano diberi nama sesuai dengan perjalanan sejarah terbentuknya Amano tersebut. Dilengkapi pula dengan gelar-gelar adat bagi Amano atau Negeri tersebut. Inilah yang dikenal sehari-hari dengan sebutan Teong Negeri. Demikian juga setiap Keluarga atau Dati, Ruma Tau, atau Luma Inai memiliki gelar adat yang dikenal dengan sebutan Mara, serta Teong Mata Ruma. Dan ini merupakan identitas putra-putri Indonesia kelahiran Maluku. Bukan saja yang di Maluku Tengah, juga yang di Maluku Utara dan yang di Maluku Tenggara.
Dalam Upacara adat di Maluku Tengah, baik yang menyangkut acara adat negeri atau acara-acara adat keluarga, selalu dipergunakan istilah-istilah dan gelar adat yang bersangkutan. Untuk menyebutkan nama negeri atau nama keluarga, sebutan Teoing dan Mara nya yang ditonjolkan. Bukan nama atau marga yang disebut sehari-hari. Misalnya negeri yang bernama Amahai, dalam upacara adat tidak dsiebut AMahei, melainkan Lounnusa Maatita. Demikian negeri yang bernama Ameth, dalam upacara adat disebut Samasuru AMalatu.
Dari uraian diatas, kiranya anggota keluarga yang berasal dari Maluku Tengah yang belum mengetahui nama Teong negerinya serta nama Mara dan Teong Ruma-nya atau keluarganya supaya berusaha melacak dan menelusurinya. Sebab yang ini adalah salah satu unsur yang menunjukkan identitas ikatan persaudaran secara murni, dan merupakan budaya khas Maluku. Informasi mengenai ini dapat dimintai di Lembaga-lembaga adat di negeri asal masing-masing.
Setelah Amano atau negeri terbentuk, mereka pun memilih seseorang yang terbaik dari orang-orang baik yang memenuhi segala persyaratan yang berkaitan dengan kondisi dan situasi setempat. Antara lain kemampuan, ketangkasan, kewibawaan, keberanian dan bahkan kesaktian. Kemudian tokoh terpilih itu di nobatkan sebagai kepala dan pemimpin mereka dengan gelar adat Upulatu.
Dengan dinobatkannya Upulatu disusunlah lembaga adat yang tetap dengan segala peraturan dan ketentuan-ketentuan hukum adanya. Lembaga adat-adat ini terdiri dari 3 unsur, yakni Saniri Elano, yang disebut juga Saniri Besar. Kedua, Saniri Amano yang disebut juga Saniri Negeri. Ketiga, Saniri Latupatih, merupakan badan pemerintahan adat.
Saniri Elano atau Saniri Besar terdiri dari saniri Latupatih serta Saniri Amano serta segenap anggota masyarakat dewasa, baik pria maupun perempuan. Tidak berlebihan kalau disamakan dengan MPR yang sekarang. Rapat Negeri disebut Rapat Saniri Besar. Sedangkan Saniri Amano terdiri dari Saneri Latupatih serta wakil-wakil masyarakat yang diangkat berdasarkan keputusan Rapat Saniri Besar. Dan tidak berlebihan kalau disamakan dengan DPR.
Lembaga adat yang terdiri dari 3 unsur di atas ketuanya atau pimpinannya ialah kepala adat dari kesatuan masyarakat Hukum Adat, kepala adat di beri gelar adat, yakni Upulatu. Sebutan sehari-hari adalah Bapak Raja, istilah yang populer setelah bahasa Melayu mempengaruhi bahasa daerah Maluku.
Badan pemerintahan adat terdiri dari pejabat-pejabat adat yang terdiri dari :
1. Upulatu, sekarang dikenal dengan sebutan Bapak Raja.
2. Upuhena, tuan tanah.
3. Mauweng, Imam/ pendeta adat.
4. Malesy Soano, kapitan besar / panglima.
5. Maatoke Soano, penguasa Baeleo.
6. Lau Mulaa Pu’uno, penguasa laut.
7. Para Tamaela, kepala-kepala Soa.
8. Siwalete, juru bicara pemerintahan atau disebut juga Marinyo yang berasal dari bahasa Portugis, Meirinho.
9. Kewangno Lau, pengawas laut.
10. Kewangno Huhui, pengawas hutan.
Struktur masyarakat hukum adat dengan lembaga-lembaga adatnya yang disusun oleh Upu Ama Upu Ama (kakek moyang) di Maluku Tengah dan diwariskan kepada anak cucu adalah seperti bagian di bawah ini :
Nomor 1 adalah Upulatu, (2) Saniri Elan, (3) Saniri Latupatih, (4) Saniri A Amno, (5) Upu Hena, (6 Mewang, (7) Maatoke Soano, (8) Malesi Iralo, (9) Lau Mulaa Pu’uno, (10) Para Tamela, (11) Kewang Lau, (12 Kewang Huhui, (13) Para Siwalete, (14) Malesi Soano (kapitan-kapitan Soa), (15) Yana Lailolo pasukan perang yang terdiri dari segenap pria dewasa dan yang punya kemampuan untuk berperang, (16) Yana Intan Auno, penduduk atau masyarakat.
Jumlah Tamaela serta Siwalete sesuai dengan jumlah Soa yang terdapat di dalam Amano, demikian juga dengan jumlah Kapitan Soano dan Malesi Soano.
Setelah kita mengikuti bersama pada bagian pertama dari uraian dan penjelasan adat dan masyarakat Maluku Tengah, maka jelaslah sudah dapat kita mengambil kesimpulan walaupun datuk-datuk/moyang-moyang kita pada masa lalu begitu sederhana, tetapi yang jelas dan pasti moyang-moyang kita itu sudah mampu menyusun serta membentuk lembaga-lembaga adat dan suatu pemerintahan adat yang dapat mengatur kepentingan bersama masyarakatnya, baik di lihat dari segi sipil maupun militer. Jabatan-jabatan adat di dalam pemerintahan adat sebagaimana disebut dibawah ini aI.
a. Upulatu (kepala adat), sekarang dikenal dengan sebutan Raja.
b. Upuhena, (tuan tanah) ada juga sebutan Latunusa atau Amanopunjo.
c. Mauweng, (Imam/Pendeta adat) juga sebutan Tupano.
d. Malesy Soano (Kapitan Soa)
e. Maatoke Soano (Penguasa Baeleo).
f. Lau Mulaa Pu’uno, (penguasa laut) ada juga sebutan Ririnama.
g. Para Tamaela, (Kepala Soa).
h. Paar Siwalete (juru bicara pemerintahan).
i. Kewangno Lau (pengawas laut).
j. Kewangno Huhui, (pengawas hutan).

Jabatan-jabatan adat di dalam pemerintahan adat sebagaimana disebut di atas mulai dari poin a s/d h sesuai ketentuan-ketentuan hukum adat harus di pegang/dijabat oleh keturunan-keturunan adat pada masa lampau sejak darimtan tersebut….. ini menurut pengertian secara adat. Ada suatu falsafah hidup yang dianut oleh masyarakat hukum adat itu bahwa bila bukan keturunan-keturunan yang menjabat, jabatan-jabatan yang dimaksud pada poin-poin a s/d h maka orang-orang itu dan atau negeri serta masyarakatnya akan mengalami bermacam-macam kesulitan.
Pemikiran-pemikiran dan atau falsafah hidup masyarakat adat ini didasarkana tas ketentuan-ketentuan hukum adat yang telah ditetapkan dan ditinggalkan oleh datuk-datuk/moyang-moyangnya termasuk pula peraturan-peraturan adat lainnya di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Ada kepata-kepata atau syair-syair yang merupai petuah-petuah yang mempunyai kekuatan-kekuatan hukum dan bersifat sakral yang telah di tinggalkan oleh datuk-datuk/moyang mereka yang demikian bunyinya ;
Upu Ama Karu Pela O Karu Pela Nia
Upu Ama Lepa Pela O Lepa Pela Nia
Sei N Hale Ahtu, Hale Hatu Lesi Pei
Sei Na Lesi Sou, Sou Ne Lesi E
Artinya :
Datuk-datuk/moyang-moyang telah meletakkan
Suatu dasar hidup untuk kita, marilah kita
Pegang dasar-dasar itu dan menjadi pula
Bagi hidup kita

Datuk-datuk/moyang telah berbicara dan telah ditinggalkan janji-janji bagi kita, marilah kita selalu ingat dan berpegang pada janji-janji dan petuah-petuah itu. Siapa yang membalik batu, batu itu akan balik melawan dan menindas dia (batu bukan sembarang batu tetapi batu dasar/pondasi, dasar hidup). Siapa yang melawan dan melanggar janji, janji itu akan melawan dan melanggar dia.
Kapata-kapata dan petuah-petuah inilah yang menjadi landasan berfikir dan falsafah hidup dari masyarakat hukum adat itu sendiri untuk tetap memegang teguh ketentuan-ketentuan hukum itu dan semua peraturan-peraturan adat lainnya yang berlaku didalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat itu.
Kita kenal suatu pribahasa yang mengatakan; “Hidup itu dikandung adat dan mati itu dikandung tanah”. Kita mengenal istilah orang tua dahulu kala sampai pada hari ini, bila seorang anak melanggar sesuatu ketentuan atau peraturan di dalam kehidupan keluarga atau masyarakat, maka orang tua-tua kita akan mengatakan; anak ini seng tau adat alias kurang ajar”.
Selanjutnya dari jabatan-jabatan adat sebagaimana diuraiakan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada poin-poin a s/d k kami kira perlu di jelaskan disini tentang tugas, kewajiban dan tanggung jawab dari pada tiap-tiap pejabat adat itu antara lain sebagai berikut ;
a. UPULATU
Upulatu adalah sebagai kepala adat dan Ketua Lembaga-lembaga adat dan Kepala Pemerintahan Adat dan merupakan lambang adat dari masyarakat itu. Ia adalah pemimpin tertinggi di dalam negeri atau amano serta kesatuan masyarakat hukum itu.
Sejak kedatangan bangsa-bangsa asing di Maluku dan kemudian setelah mereka dapat menanamkan kekuasaannya, maka si penjajah dan pula sekaligus untuk melindungi dan mengamankan kepentingan-kepentngan si penjajah itu. Maka oleh si penjajah kepada Upulatu di bebankan dan ditambahkan satu jabatan baru lagi dengan sebutan “Regent” (masa pemerintahan kolonial Belanda).
Dari istilah Regent inilah maka lahirlah sebutan baru lagi bagi Upulatu dalam bahasa Melayu sebutan sehari-hari “Raja/Tuan Raja, kini Bapak Raja. Di dalam peraturan-peraturan pemerintah kolonial Belanda jabatan jabatan adat dengan sebutan Upulatu diakui oleh pemerintah kolonial Belanda dengan sebutan bahasa Belanda “Volkshoofden:. Kalau diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia “Kepala-kepala Suku”.
Jadi sebenar-benarnya masyarakat Maluku pada umumnya di dalam sejarah-sejarah perjalanan kehidupan bermasyarakat secara asli tidak pernah mengenal istilah “Raja”. Karena menurut hemat kami istilah “Raja” berbau dan bersifat “Feodal”. Sedangkan istilah “Upulatu”. Lebih banyak bersifat Kebapakan. Kepemimpinan Upulatu lebih banyak nampak sebagai antara bapak dan anak. Dan memang masyarakat Maluku pada umumnya bukan masyarakat Feodal dan hal ini dapat dilihat dan nampak dalam sifat dan pembawaan orang-orang Maluku pada umumnya didalam kehidupannya sehari-hari. Seorang Upulatu mempunyai 2 kedudukan atau jabatan, jabatan yang utama ialah sebagai Kepala Adat berdasarkan sejarah dan peninggalan-peninggalan moyang-moyang di Maluku, jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa asing di Maluku.
Jabatan yang pertama dan yang paling utama ini ialah sesuai ketentuan ketentuan Hukum Adat yang berlaku dan sebelum seseorang memangku jabatan Upulatu/ Kepala Adat ia terlebih dahulu akan di sumpah di lantik secara adat. Upacara pelantikan adat ini berjalan dengan bahasa asli Maluku Tengah (bahasa Tanah) yang dapat membuat suasana menjadi hikmat, dan membuat bulu-bulu badan orang berdiri. Jabatan yang kedua yang adalah merupakan jabatan jabatan tambahan yang pada zaman Kolonial Belanda dengan sebutan “Regent”. Yang berlangsung sampai pada zaman perang dunia ke 2 dan takluknya kolonial belanda kepada pemerintahan Militer Jepang (Tahun 1942).
Sesudah perang dunia ke 2, tahun 1945 dan setelah pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 menyerahkan kekuasannya (penyerahan kedaulatan) kepada Republik Indonesia serikat yang kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 R.I.I, dibubarkan dan kembali lagi menjadi negara Kesatuan Republik Indoensia No. 5 Tahun 1979. Tentang ketentuan-ketentuan mengenai pemerintahan desa dan kelurahan, maka jabatan ke 2 dari Upulatu berobah nama lagi, yaitu dari “pemerintahan negeri” kini dengan sebutan “Kepala Desa”, atau sehari-hari dengan sebutan “Kades”.
Hanya satu hal yang perlu di jelaskan disini bahwa perbedaan yang sangat prinsipil tentang pengertian kedudukan/ jabatan kepala desa di pulau jawa misalnya dengan pengertian tentang kedudukan / jabatan Kepala Desa di Maluku Tengah khususnya di Maluku. Di Maluku Tengah jabatan Kepala Desa bersumber dari landasan Hukum Adat yaitu kedudukan sebagai Upulatu sebagai kepala adat baru kemudian ditambahkan jabatan kedua yaitu sebagai kepala desa.
Untuk itu seoran gkepala desa di sumpah atau diambil sumpahnya dengan tata cara negara. Maka dengan demikian di Maluku Tengah seorang Upulatu mengalami pengambilan sumpah jabatan sampai sebanyak 2 bahkan 3 kali yaitu : Pertama sumpah Adat, kedua Sumpah Negara, ketiga sumpah Agama. Di pulau Jaw misalnya setiap orang bisa memangku jabatan Kepala Desa tergantung dari hasil pemilihan dari rakyat setempat, bahkan banyak orang sesuai dari berita-berita di surat kabar berani mengeluarkan uang berjuta-juta untuk dapat dipilih menjadi Kepala Desa, sebaliknya di Maluku tengah tidak setiap orang dapat memangku jabatan kepala desa kalau asal-usulnya bukan berlandaskan Hukum Adat, bahkan banyak orang tidak berani untuk memikirkan mencalonkan dirinya untuk jabatan Kepala Desa, kalau asal-usulnya bukan berlandaskan Hukum Adat. Yang telahd itetapkan dan ditinggalkan oleh datuk-datuk./moyang-moyangnya karena takut atas sanksi-sanksi adat sesuai dengan kepata-kepata sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Kami teringat suatu kejadian 10 tahun yagnlalu yaitu tentangpenjelasan/keterangan/pernyataan seorangpejabat pemerintahan daerah Tk II Maluku Tengah yang nota bene juga seorang putera daerah Maluku Tengah yang kini telah berstatus pensiunan pegawai negeri sipil yang antara lain menyatakan bahwa status/jabatan dan gelar Upulatu itu di peroleh seseorang dikarenakan ia menduduki jabatan pemerintahan negeri atau Kepala Desa. Pernyataan mantan pejabat Pemda Tk II ini benar-benar patut disayangkan terlebih lagi beliau sendiri adalah anak adat Maluku Tengah.
Beliau mungkin tidak menyadari bahwa secara langsung pernyataan beliau itu berlawanan dengan ketentuan-ketentuan Hukum Adat. Berarti beliau telah membulak-balik batu sebagaimana telah di uraikan di dalam kepata-kepata sebelumnya, yaitu :
Sei na hale batu, hale batu lesi pei
Sei na lesi sou, sou ne lesi e
Artinya :
Siapa yang membalik abtu, batu itu
akan balik melawan dan menindas dia.
Siapa yang melawan dan melanggar
Janji, Janji itu akan melawan dan
Melanggar dia
Kita semua anak-anak Maluku adalah anak-anak adat Maluku, maka oleh karenanya kita semua terikat didalam tali persekutuan persaudaraan dan tali persekutuan hukum adat dan itulah yang menggambarkan/melambangkan budaya/kultur dan identitas/jatidiri kita. Selanjutnya kita jelaskan/uraikan tugas kewajiban dan tanggung jawab pejabat adat yang berikut.

b. UPUHENA
Upuhena atau pada wilayah hukum adat yang lain di Maluku Tengah juga dikenal juga dengan sebutan yang lain yaitu Latunusa, Amanopu, Amanopu’nya yang sebutan sehari-hari kita kenal dengan sebutan “Tuan Tanah” adalah pejabat adat dan penanggungjawab, pemimpin dan pengawas semua ketentuan dan penetapan peradatan negeri di dalam seluruh kesatuan masyarakat. Hukum adat itu baik yang berada didalam wilayah kediaman masyarakat yang disebut Amano atau egeri, maupun yang berada di wilayah hutan atau daratan di dalam wilayah kekuasaanmasyarakat hukum yang dikenal dengan sebutan “Hena”. Juga dikenal dalam bahasa Indoensia/Melayu dengan sebutan “Petuanan” atau “Hak Ulayat”. Bahasa Belanda menyebutnya “Beschikking Recht”. Upuhena adalah pejabat yang mengatur dan mempersiapkan segala upacara-upacara adat yang menyangkut negeri yang akan dilaksanakan di dalam kehidupan masyarakat negeri itu dan juga sebagai penolong orang yang sakit/guna-guna. Kita kenal dengan istilah “Takanal”.
Upacara-upacara adat besar yang menyangkut negeri atau A mano, misalnya a.l. Pelantiakn Upulatu yang baru, Maweng yang baru, Malesi Iralo yang baru, para Tamaela/ kepala Soa yang baru, Maaoke Soano yang baru. Lalu Mulaa Pu’uno yang baru. Upacara-upacara adat tersebut di atas merupakan tanggungjawab pelaksanaannya berada di dalam tangan Upuhena/tuan tanah denagn diatasnya ialah Bulatu/kepala adat. Upacara-upacaa adat sedang antara lain upacara penyerahan harta adat negeri yang menyangkut perkawinan adat., upacara-upacara adat yang menyangkut penyerahan tanah-tanah adat, kepada pihak ketiga, upacaa-upacara adat “Panas Pela”.
Catatan : Dalam hal pelantikan Upulatu yang baru secara adat tanggung jawab pelaksanaannya berada pada Upuhena.

c. MAWENG/ TUPANO (IMAM/PENDETA)
Maweng atau TUpano adalah pejabat adat yang bertanggung jawab perihal kerohanian didalam kehidupan masyarakat adat sehari-hari antara lain mengatur upacara-upacara keagamaan secara adat dengan titik sentralnya, yaitu denganmemuja keapda Allah Yang Maha Kuasa, Pencipta Langit dan Bumi dikenal dengan istilah secara adat ialah : “UPU LANITE ULU LATANE” yang mempunyai arti Tuan/bapak yang empu-nya langit dan bumi juga dikenal dengan istilah UPU ALLAH HATALA” setelah agama Islam memasuki Maluku dan juga dikenal dengan istilah “UPU LAI LAI” atau “UPU LAIN NYOLO” setelah agama Kristen memasuki Maluku.
Ada kalanya didalam pelaksanaan tugasnya Maweng bekerja sama dengan pejabat-pejabat adat lainnya antara lain dengan Upuhena, Maatoke Soano dan Malesi Iralo dan Lau Mulaa Pu”uno. Pada masa lampau Maweng mempunyai tanggung jawab pula untuk memimpin upacara-upacara adat menobatkan remaja-remaja putera menjadi pemuda-pemuda dewasa dan kemudian melatih pemuda-pemuda tersebut beberapa bidang ketangkasan secara rohani untuk memasuki hidup yang penuh arti yang antara lain kita kenal dengan sebutan nama “KEKEHAN”. Persekutuan Kakehan atau pemuda-pemuda ini pada zaman pemerintahan kolonial Belanda sangat ditakuti oleh pemerintahan Belanda yang lazim dikenal dengan istilah/sebutan “Kompeni” karena tindakan-tindakannya yang sangat agresif dan dilakukan penjerangan-penjerangan terhadap satuan-satuan kompeni/tentara Belanda.
Disimplin yang keras dan persyaratan-persyaratan yang berat ditetapkan bagi seorang anggota Kakehan. Ia harus memegang teguh rahasia-rahasia persekutuan Kakehan. Pemuda-pemuda kakehan ini memperoleh/mendapat tanda-tanda merupai motif-motif dan ditatokan pada bagian-bagian tertentu dari tubuh pemuda yang bersangkutan ada kalanya dibagian atas tangan, lengan bahu maupun dada. Tanda-tanda ini dikenal dengan sebutan “PELAPELA”. Dengan meluasnya serangan-serangan persekutuan Kakehan terhadap kompeni Belanda di pulau Seram, maka akhirnya pemerintahan Belanda memberlakukan keadaan darurat perang (SOB) di seluruh pulau di seluruh pulau Seram yang berlaku hingga tahun 1935. tugas-tugas lain yangjuga merupakan tanggung jawab merupakan tanggung jawab Maweng adalah upacara-upacara keagamaan adat yang menyangkut kesuburan tanah, saat-saat menanam padi jagung dnalain-lain dan juga pada saat-saat panen hasil-hasil tanaman-tanaman. Dankini kita beralih kepada pejabat adat yang berikut ialah :

d. MALESY SOANO (Kapitan besar dan Panglima Adat)
Malesi Iralo adalah pejabat adat yang bertanggung jawab atas bidang keamanan dan pertahanan di dalam seluruh wilayah kekuasaan masyarakat hukum setiap negeri yang disebut Hena/hak ulayat. Malesi iralo sebagai panglima mempunyai pasukan perang yang dikenal dengan sebutan “YANALAIOLO” Terdiri dari beberapa Malesi Soani/kapitan-kapitan Soa dengan segenap pria dewasa yang mampu berperang dari masyarakat hukum yang bersangkutan (termasuk yang dikenal dengan sebutan Kakehan pada rumpun Pata Siwa Hita).

e. MALESI SOANO (Kapitan Soa)
Tugas dan tanggung jawab Malesi Soano berkaitan dengan anak-anak Soa nya dan struktural di bawah malesi Iralo.

f. MAATOKE SOANO (Penguasa Baeleo/ Rumah Adat)
Maatoke Soano adalah pejabat yang bertanggung jawab dan penguasa Baileo rumah adat. Ia adalah juga bertanggung jawab untuk mempersiapkan segala upacara-upacara adat yang akan berlangsung di Baleo itu baik secara langsung maupun tidak langsung. Juga bertanggung jawab pula atas barang-barang pusaka milik Amano/negeri yang tersimpan di daam baileo seperti Tombak, Gong, Piring-piring Tua dan lain-lain, yang merupakan barang keramat bagi negeri yang bersangkutan. Barang-barang tersebut diatas di simpan di suatu tempat tertentu yang berada di dalam sebutan “LANITE”. Soano/baileu yang bersangkutan dapat dikatakan seabgai Lambang Persatuan dan Persekutuan masyarakat hukum itu sendiri, karena di dalam baileu inilah segala permasalahan negeri dan masyarakatnya di musyawarahkan dan di ambil keputusan-keputusan dan penetapan-penetapan untuk dilaksanakan demi kepentignan bersama. Di dalam bileu ini juga dilaksanakan upacara-upacara adat yang menyangkut negeri. Misalnya : Pelantikan Upulatu yang baru begitu juga Upuhena yang baru, dan begitu pula pejabat-pejabat adat yang lainnya sebagaimana sudah disebut sebelumnya. Juga pelantikan secara adat anggota-anggota Saniri Amano/negeri, upacara adat penyerahan dan penerimaan harta adat negeri.
Catatan : Mengenai harta adat negeri yang dimaksud disini adalah suatu ketentuan hukum adat yang berlaku di semua negeri di Maluku Tengah yaitu bila seorang gadis/pemudi dari suatu negeri menikah dengan seorang pemuda dari lain negeri (jadi bukan suatu negeri asal dengan pemuda itu) maka pemuda itu harus membayar (mas kawin) kepada negeri asal dari pemudi itu.

g. LAU MULAA PU’UNO/RIRINAMA (Penguasa Laut)
Pejabat ini bertanggung jawab atas wilayah laut dari negeri masyarakat hukum itu. Tugasnya adalah memelihara kesuburan laut negeri itu, bilamana lautan kurang menghasilkan ikan maka dianggap secara adat bahwa lautan itu sedang sakit.
Maka Lau Mulaa Pu”uno secara adat memanjatkan doa kepada Upu Lanite Upu Latane/Tuan atau bapa yang mempunyai Langit dan Bumi/Allah Yang Maha Kuasa Pencipta Langit dan Bumi, sambil ia berjalan di sepanjang pesisir pantai laut negeri itu dengan membawa air di dalam tempurung/batok kelapa sambil mengucapkan mantera-mantera kemudian dilakukan percikan-percikan air dari dalam tempurung tersebut dan dikibaskan ke laut.

h. PARA TAMAELA, (Kepala-Kepala Soa).
Para Tamaela adalah pejabat-pejabat adat yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak-anak soanya. Tiap-tiap soa mempunyai otonomi untuk mengatur soanya masing-masing, dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan negeri. Para kepala soa mengatur dan mengerahkan anak-anak soanya masing-masing supaya bersama-sama melaksanakan semua pekerjaan negeri yang telah diatur dan telah pula menjadi suatu keputusan bersama di dalam rapat-rapat negeri/saniri besar.
Begitu pula pekerjaan-pekerjaan di tengah-tengah anak-anak Soa. Itu sendiri maka kepala soa mengatur dan membagi-bagi pekerjaan diantara anak-anak soanya antara lain misalnya : Pekerjaan Masohi (Gotong Royong) membangun rumah disalahsatu keluarga. Tiap-tiap kepala Soa mempunyai Surat Keputusan (SK) Pemerintah Daerah Tingkat II untuk memangku jabatan negeri dan diambil sumpahnya. Tiap-tiap Kepala Soa dibebankan tugas sebulan penuh untuk melayani semua kepentingan negeri serta masyarakatnya.
Dalam tugas yang demikian ini ia disebut “Kepala Soa Bulan” atau “Kepala Soa jaga”. Dalam yang sedemikian ini segala urusan negeri dan masyarakatnya dalam tingkat pertama menjadi tanggungjawab kepala soa bulan dan kalau tidak dapat diatasi baru diteruskan dan dileselaikan oleh Upulatu/Pemerintahan Negeri/Kades.

i. PAAR SIWALETE / MARINYO (Juru Bicara Pemerintah)
Kata Marinyo berasal dari kata Portugis “Merinche”, tugas para Siwalete adalah menyampaikan pengumuman-pengumuman / perintah dan sekaligus memberikan penerangan-penerangan kepada segenap masyarakat yang dikeluarkan oleh Badan Pemerintah Adat dan pemerintah Ngeri/Kades. Para Siwalete/Marinyo juga mempunyai tugas selaku polisi negeri/desa.

j. KEWANGNO LAU (Pengawas Laut).
Pejabat ini bertanggung jawab atas pelaksanaan secara baik segala ketentuan dan penetapan-penetapan hukum adat mengenai wilayah lautan labuhan yang termasuk wilayah kekuasaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Ia harus mengawasi dan melarang serta menangkap setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan atau penetapan-penetapan hukum adat atas wilayah lautan itu, misalnya melanggar ketentuan/penetapan hukum adat tentang “SASI LABUHAN”. Atau sasi laut baik dari dalam juga yang dari luar. Sasi Labuhan adalah sejenis hukum adat yang melarang setiap orang menangkap ikan di laut selama jangka waktu tertentu dengan maksud memberi ikan-ikan di laut berkembang biak. Jadi dari dahulu kala sudah ada dan sudah berlaku pula sistem pemeliharaan lingkungan hidup.

k. KEWANGNO HUI, (Pengawas Hutan)
Pejabat ini bertanggungjawab atas pelaksanaan secara baik segala ketentuan dan penetapan-penetapan hukum adat mengenai hutan yang termasuk wilayah kekuasaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ia harus mengawasi dan melarang serta menangkap setiap orang, baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar yang melanggar ketentuan/penetapan hukum adat atas wilayah hutan yang di berlakukan “SASI HUTAN”, dan Pohon-pohon buah lainnya dan larangan-larangan penebangan liar.
Marilah kita lanjutkan melihat dan menyelusuri segi-segi hukum adat yang berlaku di dalam kehidupan sehari-hari yang berlaku didalam masyarakat di tiap-tiap negeri di Maluku tengah walaupun juga harus dikatakan ada juga di beberapa negeri nampaknya mulai luntur karena pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Memang sulit bagi kita sekarang ini terlebih lagi bagi generasi yang akan datang nanti kemungkinan besar sekali adat-istiadat nenek moyang kita lambat laun akan tidak nampak lagi dan bila hal ini bila terjadi, sadarilah saudara-saudaraku kita semua sebagai anak-anak cucu maluku akan kehilangan modal kita yang terbesar yaitu identitas kita sebagai anak Maluku, maka teringat lah kami akan pepatah/pribahasa orang-orang tua kita di Maluku yang berbunyi “Dia berlayar dengan orang lain pung layar”.
Memang harus diakui pula bahwa budaya/kebudayaan bangsa-bangsa di dunia ini rata-rata saling membawa pengaruh yang satu kepada yang lain. Tetapi sesuatu bangsa atau masyarakat itu sendiri memiliki suatu adat istiadat / tradisi yang asli yang kemudian dituangkan dalam suatu ketentuan hukum yang dikenal dengan sebutan “HUKUM ADAT”. (bahasa Belanda ; Gewoonte Recht). Negara Republik Indonesia menjunjung tinggi dan melindugni hukum adat itu dan hal ini tertuang di dalam UUD 1945 pada bab VI pasal 18 tentang Hak-hak Asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dan kita semua sebagai orang yang beragama dan umat yang percaya kepada Allah dengan segala firman-Nya tentu dapat memilih dan menguji mana yang baik dan mana yang tidak baik di dalam unsur-unsur hukum adat kita.
Yang baik tentu kita pertahankan dan memelihara serta melestarikan nya, sedangkan yang tidak baik kita tinggalkan, Misalnya; Adat potong kepada adat ini bertentangan dengan Firman Allah : Jangan kamu membunuh atau unsur-unsur adat yang lain menjurus ke sifat-sifat penjembahan berhala. Hal seperti ini harus di jauhi dan ditinggalkan. Beta sebagai orang pengikut Kristus, dengan ini ingin mengemukakan sebuah ayat yang terdapat di dalam Kitab Suci, Alkitab, Kitab Perjanjian Lama terambil dari Amsal Salomo Pasal 17 Ayat 6 yang demikian bunyinya : mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka.
Beta sebagai orang awam kalau merenungkan ayat tersebut diatas tentu sebagaimana apa yang ada saja. Kita semua sebagai anak-anak cucu pada zaman sekarang ini tentu merasa bangga dan merupakan pula kehormatan bagi kita, karena kita mempunyai dan memiliki nenek moyang kita yang telah almarhum itu. Suatu hal yang pasti nenek moyang kita almarhum itu tentu mempunyai peninggalan-peninggalan yang merupai budaya./kebudayaan, adat-istiadat, bahasa dan lain-lain lagi yang begitu banyak telah beliau wariskan kepada kita sebelum beliau-beliau itu meninggalkan dunia yang fana ini.
Dan kini kita semua sebagai anak-anak cucu moyang Maluku yang adalah pula mahkota yaitu tanda kebesaran dan kehormatan moyang-moyang kita bukankah kita mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk memelihara dan melestarikan segala peninggalan moyang-moyang kita yang telah diwariskan kepada kita selaku warisan yang terindah, lagi pula yang termahal yaitu budaya/kultur yang sekaligus melambangkan identitas/jati diri anak-anak maluku.
Memelihara dan melestarikan peninggalan-peninggalan moyang-moyang kita merupakan suatu kehormatan bagi kita anak-anak cucu Maluku sebagaimana tersurat dan tersirat di dalam kitab Amsal Salomo 18:6. setelah sedikit uraian dan penjelasan kami tersebut diatas, maka kini kami mengajak saudara semua untuk dapat lebih mengenal lagi segi-segi hukum adat yang kita kenal khususnya di Maluku Tengah al :
a. Hukum pemerintah dengan segala kaitannya
b. Hukum tanah dengan segala kaitannya
c. Hukum laut dengan segala kaitannya
d. Hukum perkawinan dengan segala kaitannya.
e. Hukum denda dengan segala kaitannya
f. Hukum pela dengan segala kaitannya
g. Hukum tentang hak dan kewajiban masyarakat (laki-laki dan perempuan-perempuan dewasa).
Catatan : Tentang hukum-hukum tersebut diatas akan diuraikan nanti secara lebih jelas lagi pada penulisan-penulisan berikutnya.
Sebagaimana diketahui rata-rata oleh generasi tua dan basudara-basudara yang lahir dan dibesarkan di Maluku pada umumnya khususnya di Maluku Tengah tentu mengenal istilah “BATU PAMALI”. Yang mempunyai arti suatu benda yang merupai batu dengan ukuran adakalanya pula berukuran sedang yang mana dimaksud letaknya disekitar halaman rumah adat atau bae leu itu.

Rata-rata di semua negeri Maluku Tengah di halaman rumah adat atau baeleu itu terdapat batu sejenis yang dimaksud di atas dan ada pula batu tersebut tidak terlihat lagi karena usia dan jangka masa waktunya yang begitu lama telah ditelan oleh alam dan tanah. Setiap baeleu/rumah adat mempunyai nama sesuai dengan perjalanan sejarah negeri yang bersangkutan atau sejarah pembuatan/membangun baeleu itu.
Nah mari kita sama-sama melihat dan mendalami apakah sebenarnya “Bau Pamali” itu. Untuk itukita terlebih dahulu harus mengetahui apa arti dan makna di dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Maluku tengah itu yang berkaitan dengan Batu Pamali disekitar baeleu. Kata Pamali mempunyai arti “Larangan” yang mempunyai sifat dan kedudukan yang lebih tinggi dari kata larangan yang biasa. Dapat dikatakan kata Pamali mempunyai arti larangan yang bersifat mutlak dan mengandung segi-segi sakral. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini. misalnya :
a. Seorang ayah melarang anaknya untuk tidak keluar rumah, karena ada hujan lebat tetapi ternyata secara diam-diam anak itu keluar juga bermain hujan. Jenis larangan tersebut tidak bersifat mutlak apalagi sakral.
b. Sampai sekarang ini di Maluku Tengah disalah satu wilayah/negeri di Seram Selatan 28 km dari negeri Amahai terdapat suatu negeri yang masyarakatnya, penduduknya masih memegang teguh sekali ketentuan-ketentuan hukum adat yang ditinggalkan oleh datuk-datuk/moyang-moyang mereka.
Negeri ini bernama “NOA ULU” masih ada pula suatu negeri lagi yang bernama “YALA HATAN”. 40 km dari negeri Amahei, kedua masyarakat negeri ini di dalam kehidupan sehari-hari patuh kepada hukum adat yang menjadi pedoman hidup mereka, yang mereka warisi dari moyang-moyang mereka. Sebagian kecil dari kedua masyarakat ini telah memeluk agama Islam dan Kristen.
Di kedua negeri ini terdapat pula rumah-rumah kecil yang dibangun di luar lingkungan kediaman masyarakat negeri dekat sekali dengan hutan dan jenis-jenis rumah kecil ini dikenal dengan sebutan sehari-hari “RUMAH PAMALI”, bahasa Tanah “TIKU SUNE”. Rumah-rumah kecil ini dilarang sangat bagi kaum pria untuk melihat atau memandang ke arah rumah-rumah tersebut, bila mereka melewati areal/wilayah disekitar rumah-rumah kecil itu apalagi memasuki rumah-rumah tersebut, itu namanya Pamali (Larangan mutlak).
Dan taukah basudara-basudara apa itu rumah kecil yang disebut rumah pamali ? tak lain dan tak bukan rumah itu adalah tempat-tempat penampungan wanita yang sedang “haid”. Bagi wanita yang sudah mulai merasa tanda-tanda bahwa mereka akan mendapat haid, maka para wanita itu sudah harus segera meninggalkan rumahnya dan mulai memasuki rumah pamali dan berada di situ sampai ia dinyatakan tahir atau telah bersih lagi baru boleh ia kembali ke rumahnya.
Begitu pula pada gadis yang untuk pertama kali akan mendapat haidnya para gadis inipun harus memasuki rumah-rumah Pamali ini dan setelah bersih para gadis ini akan dikeluarkan nenek dan kerabat-kerabat wanitanya dan kemudian akan berlangsung suatu upacara adat dan diadakan pesta-pesta adat bagi segenap masyarakat negeri untuk menyatakan bahwa gadis itu sudah dewasa. Sampai pada hari sekarang ini adat istiadat/ hukum adat ini masih berlangsung di tengah kehidupan sehari-hari dari kedua masyarakat negeri tersebut diatas.
Secara singkat sedikit penjelasan dari pada arti dan makna dari pada segi hukum adat tentang rumah Pamali dan proses Haid adalah suatu hukum yang melarang tidak dibenarkan/diizinkan adanya darah kotor tertumpah di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, karena faham adat menganggap darah kotor dengan pengertian pula jiwa yang kotor, karena pengertian darah adalah juga nyawa manusia. Dan bila yang kotor itu tertumpah itu terdapat dan atau berada di tengah negeri dan kehidupan masyarakat baik merupai penyakit (wabah) atau dalam bentuk-bentuk kesulitan yang lain. Karena faham adat tentang yang kotor identik dengan dosa…..Dan kini marilah kita kembali lagi pada pokok atau obyek batu pamali yang berada/terletak di halaman baeleu di tiap-tiap negeri baik dimasa lampau maupun pada masyarakat kini.
Batu pamali tersebut diatas mempunyai sejarah yang sangat tinggi yaitu merupakan batu alasan yang pertama yang diletakkan oleh moyang-moyang kita pada masa lampau ratusan tahun yang lalu pada saat moyang moyang kita menetapkan dan memutuskan bersama untuk mendirikan dan membangun suatu Amano, sekarang disebut desa yang kemudian menjadi tempat tinggal mereka dan anak cucunya sampai saat sekarang ini generasi kita yang mendiami/menempati dan memilikinya sebagai suatu warisan.
Setelah meletakkan batu alasan yang pertama itu kemudian moyang-moyang kita membangun baeleu sebagai lambang persekutuan dan sekaligus sebagai tempat musyawarah bersama dalam membahas kepentingan kepentingan bersama pula. Kemudian batu alasan pertama ini mendapat tempat khusus di dalam hati sanubari masyarakat setempat di dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan menunjukkan rasa hormat mereka terhadap buah-buah tangan atau karya-karya dari moyang-moyang mereka yang nampak berbentuk batu alasan pertama itu.
Masyarakat setempat memelihara batu alasan pertama itu dengan baik sebagai tanda rasa hormat mereka terhadap karya-karya moyang-moyang mereka dan kemudian di dalam suatu rapat/musyawarah negeri ditetapkan dituangkan menjadi suatu ketentuan hukum adat yaitu batu alasan pertama dinyatakan sebagai “BATU PAMALI” selaku tanda hormat masyarakat terhadap karya-karya moyang mereka.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa arti Pamali ialah : Suatu larangan yang bersifat mutlak dan mengandung segi-segi sakral. Jadi kepada masyarakat oleh lembaga adat ditetapkan suatu hukum yang melarang masyarakat untuk berbuat hal-hal yang tidak terpuji atau hal-hal yang melanggar sopan santun terhadap status batu alasan pertama itu yang adalah karya-karya moyang-moyang mereka misalnya : dilarang memindahkan batu pertama alasan itu dari tempatnya, oleh karena itu sebutan sehari-sehari mengenai batu alasan pertama dikenal dengan istilah “BATU PAMALI”.
Sayang sekali ada orang yang menganggap dan menilai batu itu batu berhala bahkan ada pula yang mengangap dan menilai baelen juga adalah rumah berhala. Suatu angapan yang keliru, tetapi maklumlah anggapan dan penilaian seperti itu adalah sisa-sisa strategi politik penjajah yang berusaha keras untuk menghancurkan budaya/kultur adat istiadat suatu bangsa atau masyarakat melalui cara-cara adu domba dan memecah belah persatuan dan kesatuan.
Sesuatu bangsa atau masyarakat yang tidak memiliki budayanya sendiri lagi maka bangsa atau masyarakat itu telah kehilangan identitasnya/jati diri/kepribadiannya dan bangsa atau masyarakat seperti itu sangat mudah sekali untuk di dikte oleh si penjajah untuk melakukan apa saja sesuai keinginan dan kehendak penjajah. Orang Ambon bilang seperti; karbau cucu hidung, tinggal hilang (tarik) saja dan kerbau itu akan ikut saja.
Apa bedanya nilai sejarah batu-batu pamali dan baeleo-baeleo yang berada di Maluku Tengah dengan candi-candi, monumen-monumen, prasasti-prasasti atau gedung-gedung tua lainnya yang terdapat dibagian-bagian lain di dunia ini termasuk negara Barat? Nilai-nilai sejarah pasti tidak berbeda hanya yang berbeda adalah situasi dan kondisinya.
Dan mengenai adanya tanggapan dan penilaian orang-orang tertentu yang mengatakan bahwa baeleo-baeleo dan batu pamali adalah rumah-rumah berhala dan batu-batu berhala, perkenanlah pendapat beta sebagai berikut : menurut hemat beta, tidak semua benda, gedung-gedung batu-batu atau patung-patung merupakan berhala-berhala di dalam kehidupan sehari-hari suatu bangsa atau masyarakat selama benda-benda itu tidak diberhalakan dan atau disembah sujud oleh bangsa dan masyarakat itu sendiri. Berbicara tentang berhala-berhala sebenar-benarnya, berhala itu mengambil bermacam-macam wujud dan bentuk. Kalau memang diberhalakan antara lain misalnya : Harta, kekayaan, Uang, Kedudukan, Jabatan dan lain-lain.
Dan kini marilah kita melihat dan mendalami segi-segi hukum adat kita di Maluku pada umumnya, khususnya dalam hal ini di Maluku Tengah :
a. Hukum Pemerintah dengan segala kaitannya. Mengenai hukum adat ini telah diuraikan.

b. Hukum Tanah dengan segala kaitannya
b.1. Setiap negeri memiliki/mempunyai wilayah kekuasaan yang dikenal dengan sebutan petuana/hak ulayat.
b.2. Di dalam wilayah hukum adat ini setiap anggota masyarakat hukum dari negeri yang bersangkutan dapat mengusahakan dan mengolah tanah tersebut dan dapat dijadikan hak miliknya turun temurun yang dikenal dengan sebutan; “Tanah Pusaka”/dusun pusaka.
b.3. Kemudian terdapat pula status-status tanah adat yang dikenal dengan sebutan, “Tanah Dati/dusun dati”. Jenis status tanah ini asal mulanya diusahakan/dikelola oleh beberapa saudara bersaudara/kakak beradik atau keponakan dati daris atu pohon keturunan dari dati/keluarga marga yang sama misalnya dati atau marga Watti Wattimena atau Wattimury, maka status tanah dati ini adalah milik bersama dari dati yang bersangkutan dan mereka mengangkat seseorang diantara mereka sebagai kepala Dati yang mengurus kepentingan bersama bagi semua anak-anak dati yang berkepntingan dengan tanah dati tersebut. Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda di Ke Oeliasers tanah-tanah dati dimaksud di catat dalam sebuah daftar yang dikenal dengan sebutan “DATI REGISTER”. Di Pulau Seram dati resiter tidak ada karena pemerintah Belanda tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pendaftaran tanah-tanah dati tersebut disebabkan karena di Pulau Seram diberlakukan keadaan darurat Perang (SOE) sehubungan dengan setiap kali terjadi pemberontakan-pemberontakan dari raja-raja Seram dengan rakyatnya terhadap Belanda sampai tahun 1935. di Pulau Seram terdapat pemerintahan militer Belanda, sedangkan di Kep Oeliasers terdapat pemerintahan sipil.
b.4. Kemudian terdapat pula status-status tanah dengan sebutan “Tanah Negeri” dengan kata lain tanah-tanah tersebut adalah milik negeri.

c. Hukum laut dengan segala kaitannya
c.1. Wilayah kekuasaan adat dari masyarakat hukum tentang laut ialah pelabuhan yang ada tiap-tiap negeri yang berlokasi dipinggir pantai sepanjang batas-batas pesisir sesuai dengan hak ulayat dari tiap-tiap negeri yang bersangkutan.
Catatan : Sebagaimana telah diuraikan di atas yaitu baik di darat maupun di lautan diberlakukan pula hukum-hukum “SASI” yaitu suatu jenis hukum yang melarang setiap orang untuk mengambil hasil dalam bentuk apapun dari hutan atau lautan, sehingga dengan demikian-

Selanjutnya marilah kita lihat bersama ketentuan-ketentuan bersama-sama adat lainnya yang berkaitan dengan hukum perkawinan yang berlandaskan adat antara lain ketentuan penyerahan “harta” (mas kawin) :
Harta atau mas kawin ini, oleh orang-orang tertentu ada kalanya penafsirannya agak keliru dengan pendapat bahwa dengan membayar/menyerahkan “harta” kepada pihak keluarga si gadis dan “harta negeri” kepada negeri asal si gadis kalau kebetulan si pria tidak berasal dari satu negeri dengan si gadis dan kalau si pria berasal dari satu negeri dengan si gadis maka si pria dibebaskan dari “Harta Negeri, tetapi wajib membayar/menyerahkan harta/mas kawin kepada mata rumah/keluarga si gadis. Bahawa harta atau mas kawin ini ditafsir oleh orang-orang tertentu seolah-olah si gadis ini dibeli oleh si pria ini adalah suatu tafsiran yang sangat keliru. Pengertian dari pada harta mata rumah yang sebenarnya adalah sebagai berikut :
a. Bahwa dengan perilaku si pria mengambil si gadis menjadi isterinya maka dengan sendirinya si pria telah menciptakan atau telah menyebabkan sesuatu ketidak seimbangan di dalam ikatan kesatuan mata rumah/keluarga si gadis yang bersangkutan kalau dalam hal ini si pria itu berasal dari satu negeri dengan si gadis yang bersangkutan.
b. Dalam hal bila mana si pria tidak berasal dari satu negeri dengan si gadis maka si pria telah pula menyebabkan suatu ketidak seimbangan bukan saja di dalam ikatan keluarga/mata rumah si gadis tetapi juga di dalam ikatan persatuan dan kesatuan masyarakat hukum adat dari negeri si gadis yang bersangkutan pula karena si gadis terikat pula dalam kesatuan Jojaro Mongare (pemuda pemudi) di dalam bahasa tanah dengan sebtuan “MURUA MALAKAU”. Murua = Jojaro / Pemudi dan Mata kau = Mongare / Pemuda.
c. Maka untuk kedua kejadian atau perbuatan yang diciptakan oleh si pria sebagaimana dimaksud pada point-point a dan b tersebut di atas maka si pria diwajibkan mengembalikan lagi keseimbangan di dalam kesatuan keluarga/ mata rumah dan negeri/ masyarakat adat si garis yang bersangkutan yaitu dengan membayar atau lebih tepat dikatakan menjerahkan harta adat (mas kawin) tersebut.
d. Harta adat atau mas kawin ayng harus diserahkan oleh si pria kepada keluarga/ mata rumah si gadis ada kalanya berbeda antara suatu keluarga/mata rumah dengan keluarga yang lain.
Harta adat/ mas di dalam bahasa adat atau bahasa tanah “AURERIO”. Pada umumnya rata-rata harta adat terdiri dari beberapa benda yang mempunyai arti tertentu. Penjerahan harta adat kepada keluarga/ mata rumah si gadis berlangsung dengan suatu tata cara upacara adat, benda-benda yang diserahkan sebagai harta adat pada umumnya terdiri antara lain dari benda-benda sebagai berikut :
1. 1 buah pinggang batu/ piring batu kuno bermotif negeri Cina yang dalam hal ini mempunyai arti sebagai kunci pembuka pintu keluarga / mata rumah si gadis, pengertian yang lebih dalam lagi ialah : …

e. Hukum perkawinan dengan alasan segala kaitannya, mengenai hukum perkawinan di Maluku Tengah terdapat beberapa cara perkawinan antara lain sebagai berikut :
e.1. Bahasa Tanah kata Masawana = Kawin, Palae = Minta, cara perkawinan yang terhormat ialah dalam bahasa Tanah dengan sebutan = masawana Palae = Perkawinan melalui proses keluarga calon penganten wanita dan melamar/meminang si gadis yang bersangkutan. Bahasa sehari-hari dikenal dengan istilah = masuk minta bini, maksud ini berlangsung dengan upacara adat.
e.2. Masawana Lawa : Perkawinan melalui proses membawa lari si gadis dari rumah orang tua si gadis oleh si pria/kekasih si gadis atau oleh orang lain yang telah ditentukan terlebih dahulu. Kemudian si gadis yang telah di bawa lari itu disembunyikan di suatu tempat atau rumah suatu keluarga pihak pria tentu semua rencana ini sudah diatur terlebih dahulu oleh si pria. Si gadis sebelum melarikan dirinya dari rumah orang tuanya sudah terlebih dahulu membuat suatu surat pernyataan terlebih dahulu kepada orang tuanya bahwa ia telah lari meninggalkan rumah untuk kawin dengan tunangan/ kekasihnya. Sebelum ia lari meninggalkan rumah ia meletakkan surat itu dibawah bantal tempat tidurnya atau di meja yang berada di kamar tidurnya. Tindakan atau proses ini biasanya pada malam hari.
Jenis proses perkawinan semacam ini terjadi biasanya pada umumnya karena pihak keluarga si gadis tidak merestui perkawinan anak perempuan mereka dengan si pria. Risiko yang disebutkan diatas bagi si pria dan si gadis ialah bilamana si gadis yang dibawa lari itu diketemukan kembali oleh saudara laki dari pihak si gadis maka baik si pria maupun si gadis dipukul babak belur lebih-lebih si gadis habis-habisan oleh saudara-saudara lakinya dan dibawa pulang kembali ke rumah orang tua si gadis. Sampai di rumah tentu akan kembali dipukul lagi oleh saudara-saudaranya yang lain.
Catatan : Suatu tradisi di Maluku Tengah yaitu pada saat terjadinya peristiwa perkawinan lari, maka biasanya dari pihak si pria yang membawa lari si gadis itu melepaskan tembakan senapan ke udara sebagai suatu pertanda ada yang membawa lari bini biasanya dan selalu pada malam hari.
Masyarakat termasuk anak-anak kecil yang mendengar suara tembakan senapan tersebtu dengan serantak beramai-ramai berteriak : “Orang Bawa Lari Bini o o o “. Berbalas-balas teriakan mereka dan biasanya para orang tua ibu Bapak yang mempunyai perasaan dan dugaan terhadap anak-anak perempuan mereka segera akan bereaksi setelah mendengar suara tembakan senapan dan teriakan masyarakat itu. Mereka segera mencari anak perempuan mereka dan kalau ternyata anak perempuan mereka ada di rumah, tenang-tenanglah Bapak dan segenap keluarga itu. Tetapi sebaliknya kalau ternyata mereka tidak menemui anak perempuan mereka di dalam rumah maka mulai timbul perasaan hati was-was. Segera ibu bapak dan saudara-saudara mereka menuju kamar tidur anak perempuan mereka dan mengobservasi keadaan di dalam kamar tidur dan segera menuju ke arah meja atau tempat tidur dan memeriksa di bawah bantal apakah ada surat dibawah bantal tidur anak perempuan mereka atau tidak. Kalau ternyata ada surat, istilah sehari-hari dikenal dengan sebutan “Surat Lari”.
Maka gemparlah seisi rumah keluarga yang terkena peristiwa perkawinan lari itu. Suara tangis terdengar yang disusul segera dengan gerakan usaha oleh saudara-saudara laki si gadis yang telah lari itu untuk mencari saudara perempuan mereka untuk mengembalikannya kembali. Itu kalau usaha mereka berhasil sebab kemungkinan juga tidak akan berhasil dikarenakan ada kalanya si gadis itu di bawa lari jauh dari negeri atau kampung halamannya, bahkan ada kalanya sampai menyebrang lautan kelain pulau bahkan sampai ke pulau Jawa dan dalam hal ini tentu oleh pemuda kekasih si gadis itu yang kebetulan pulang cuti dari Jawa ke kampung halamannya.

e.3. MASAWANA MANUA; Perkawinan melalui proses di mana si prialah yang masuk ke dalam rumah keluarga orang tua si wanita dan tinggal bersama-sama orang tua si wanita dan harus bekerja bagi orang tua dan keluarga si wanita.
Perkawinan semacamini biasanya danpada umumnya disebabkan karena si pria belum sanggup membayar/menyerahkan harta adat/maskawin kepada mata rumah/ keluarga si wanita.
Dan dengan persetujuan orang tua si wanita si pria boleh melangsungkan perkawinan dengan anak perempuan mereka asal saja si pria mau dan bersedia bekerja untuk mata rumah/keluarga si wanita untuk jangka waktu tertentu dan pula….. anak pertama dan adakalanya juga yang kedua dari perkawinan jenis Manua ini harus diserahkan dan menjadi milik orang tua dan mata rumah/keluarga si wanita dan dengan sendirinya memikul nama marga keluarga si wanita. Dengan demikian di dalam kehidupan masyarakat adat di Maluku Tengah sering terdapat anak-anak yang memikul nama marga ibunya sedan adiknya nama marga ayahnya. Anak-anak dengan marga ibunya dikenal dengan sebutan “ANAK HARTA” (mas kawin).
Penulisan-penulisan berikutnya nanti akan diuraikan segi-segi hukum adat yang berhubungan dengan 3 jenis hukum perkawinan tersebut.

1. Kunci pembuka hati keluarga si gadis pada saat rombongan keluarga si pria datang mengantar harta adat untuk diserahkan kepada keluarga si gadis, sehingga seluruh upacara adat berjalan dengan baik.
2. 1 buah benda berbentuk ular berwarna emas mempunyai arti seabgai penghormatan yang besar sekali kepada keluarga si gadis yang telah melahirkan si gadis calon penganten itu dan sekaligus pula melambangkan tubuh si gadis yang ramping dan cerdik,
3. 1 buah pinggang batu/ piring batu kuno yang bermotif begeri Cina yang ukurannya agak lebih besar yang melambangkan kepala dan muka si gadis yang cantik.
4. 1 buah pinggang batu/ piring batu kuni yang bermotifkan negeri Cina yang melambangkan tempat makanan si gadis sejak ia dari kecil sampai ia dibesarkan oleh ibu bapaknya.
5. 1 botol Sopi/jenever yang melambangkan sebagai pengganti air susu ibu si gadis selama ibunya menyusuinya.
6. 1 buah pinggang batu/piring batu kuno bermotifkan negeri Cina yang melambangkan tempat mandi si gadis semasa ia masih bayi.
7. 1 buah gong yang mempunyai arti dan melambangkan suara dari si gadis,
catatan : Didalam penyerahan harta adat ini gong dipukul untuk mendengar suara tersebut.
8. 2 buah kain sarong mata-mata/kotak-kotak ditambah pula dengan 1 balok kain putih ± 27 meter yang dikenal dengan sebutan “KAIN TAMPAN” yang dalam hal ini mempunyai arti sebagai pengganti kain sarong dan sprei tempat tidur yang telah menjadi kotor pada saat sang ibu melahirkan si gadis dan ditambah pula 1 botol sopi/jenever melambangkan penggantian darah si ibu yang telah tertumpah pada saat sang ibu melahirkan si gadis calon penganten itu.
9. 1 buah kain patola (sejenis kain yang bermotif adat Hindu) yang mempunyai arti serta melambangkan penggantian segala jerih payah sang ayah mencari makan untuk membesarkan si bayi gadis calon penganten dan ditambah pula botol sopi/jenever.
10. 1 buah kain patola yang mempunyai arti dan lambangkan penggantian segala jerih payah yang com/paman, kakak atau adik dari ibu si gadis yang juga turut mengambil bagian dan pertanggung jawaban pula dalam mebesarkan si bayi gadis calon penganten.
Perhatian :
Jadi bukan paman, adik, kakak laki-laki dari sang ayah si gadis tetapi kain patola ini harus diserahkan kepada adik atau kakak laki-laki dari sang ibu si gadis calon penganten. Dalam istilah sehari-hari dikenal dengan sebutan “KAIN OOM”
11. 1 buah tempat sirih raja lengkap dengan segala isinya antara lain sirih pinang – kapur – gambir dan tembakau di tambah dengan 1 botol sopi/ jenever. Bagian harta adat ini dikenal dengan sebutan : “APA PUAL”, bagian harta ini mempunyai arti dan melambangkan terjadinya suatu perikatan persaudaraan, kekeluargaan, persahabatan calon penganten pria dan mata rumah/keluarga calon pengantin wanita.
Catatan :
Di dalam penyerahan harta adat sebagaimana diuraikan di atas hadir pula segenap kaum kerabat dari mata rumah/ keluarga si gadis dan mereka semua turut memeriksa satu-persatu bagian/benda-benda harta adat dimaksud dan kalau semua benda-benda itu cocok dan memenuhi syarat-syarat adat, maka segenap kaum kerabat si gadis memberi pernyataan baik penyerahan harta adat tersebut. Kemudian baru calon pengantin wanita yang selama penyerahan harta adat berlangsung berada di dalam kamarnya di bawa keluar oleh tante/bibi atau nenek si gadis untuk diperkenalkan secara resmi ke pada segenap kaum kerabat mata rumah/keluarga calon penganten pria.
Selanjutnya dan biasanya sehari kemudian setelah harta adat diserahkan oleh pihak keluarga si pria kepada keluarga si gadis maka kemudian barang milik si gadis yang antara lain pakaian-pakaian, alat-alat dapur, piring-piring, sendok-sendok, dan garpu, gelas, dan lain sebagainya, yang diperlukan seorang ibu rumah tangga di antar ke mata rumah/keluarga si pria dan diserahkan dengan suatu upacara adat.
Aca ini terjadi apabila jenis perkawinan adalah perkawinan dengan cara masuk minta bini bahasa tanah dikenal dengan sebutan “TASAWANA PALE”.

Tentang Harta Negeri
Sebagaimana diuraiakan sebelumnya bahwa bila mana seorang pria menikah dengan seorang gadis yang bukan berasal dari negeri yang sama pria diwajibkan selain menyerahkan harta adat, keluarga si pria itu juga diwajibkan menyerahkan pula harta negeri kepada negeri asal si gadis. Harta negeri terdiri antara lain dari beberapa benda sebagaimana di uraikan di bawah ini :
1. Pada zaman dahulu kala, zaman datuk-datuk kita semua benda dan lain-lain apa pun semua itu didasarkan atas hukum adat dengan berpedoman dengan angka 9 dan 5, karena Maluku terdiri dari 2 rumpun masyarakat yang besar yaitu rumpun Pata Siwa dan Pata Lima. Pata = kelompok atau rumpun dan siwa = 9 sedangkan 5 = 5. semua unsur-unsur hukum adat dari kedua rumpun ini hampir selalu berkaitan dengan angka-angka 9 dan 5. pada bendera dan lambang propensi Maluku juga terdapat kata-kata “SIWA LIMA”.
2. Dengan demikian si pria diwajibkan membayar harta untuk negeri asal si gadis yang bersangkutan benda-benda dalam jumlah sembilan (9). Bilamana si gadis itu berasal dari negeri yang berstatus Negeri Pata Siwa dan jumlah angka 5 bilamana si gadis itu berasal dari negeri yang berstatus Negeri pata Lima, misalnya ; benda-benda seperti piring kuno, gong, dan lain sebagainya.
Catatan :
Tetapi pada saat sekarang ini karena sulit sekali untuk memperoleh barang-barang kuno tersebut, maka kini diambil suatu kebijaksanaan oleh lembaga adat dalam hal penyerahan harta adat mata rumah maupun harta negeri, dapat diganti dalam bentuk UAGN tetapi masih ada anggota masyarakat hukum adat yang menyerahkan harta adat dalam bentuk benda-benda yang kuno juga.
3. Pada saat sekarang ini penyerahan harta adat untuk mata rumah dapat dirundingkan dengan mata rumah si gadis, apakah dalam bentuk benda atau untuk mudah dalam bentuk uang saja.
4. Sedangkan untuk penyerahan harta adat untuk negeri rata-rata telah diambil suatu kebijaksanaan oleh Lembaga Adat Negeri untuk memudahkan prosesnya yaitu sebagai berikut :
a. Bagi negeri yang berstatus negeri Pata Siwa terdiri antara lain dari 1 blok kain putih yang mempunyai arti ; Walaupun si gadis itu telah menikah dengan seorang pria dari lain negeri dan akan mengikuti suaminya tetapi jiwa raga dan hatinya selalu berada di negeri dan masyarakatnya, melalui benda bahan kain putih yang melambangkan kesucian dan ketulusan hati. Di tambah pula dengan uang sejumlah Rp. 99,999,99; dan ditambah pula si pria atau keluarganya menjamu para anggota yang dikenal dengan sebutan “Saniri Negeri”. Dengan sirih pinang lengkap dan 9 botol sopi / jenever / segeru.
Acara ini berlangsung dengan suatu upacara adat di dalam rumah adat atau baeleu, nama si gadis dan si pria di umumkan tentang perkawinan mereka. Kain putih 1 blok yang diserahkan ke pada ngeri itu adalah bagian untuk persatuan Jojaro / Mungare pemudi-pemuda/ murua mala kau.
b. Bagi negeri yang berstatus Pata Lima penjerahan uagnsebagai pengganti benda-benda harta adat, uang sebanyak Rp. 55,555,55; ditambah 1 blok kain putih dan menjamu Saniri Negeri dengan sirih pinang lengkap dan 5 botol sopi / jenever.

Kemungkinan ada juga negero-negeri yang emmpunyai ketentuan-ketentuan hukum adat tambahan sesuai dengan adat-istiadat setempat, tetapi rata-rata ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana diuraikan di atas.
Selain segi-segi adat sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka di dalam perkawinan adat di Maluku Tengah pada khususnya ada pula suatu ketentuan hukum adat di dalam perkawinan yang dikenal dengan sebutan : “PAMOY”. Di negeri-negeri lain di Maluku Tengah di kenal dengan sebutan-sebutan lain misalnya : “Kasi pake baju Mananol” atau pula dengan istilah “Kasi masuk bini” di dalam mata rumah laki.
Secara umum dapat dikatakan ketentuan adat ini dapat diartikan sebagai halnya itu secara resmi membawa dan memperkenalkan si istri ke pada induk semang/mata rumah si laki di mana pada kesempatan upacara adat tersebut kepada si istri diberi gelar adat mata rumah si lelaki yang kita kenal dengan sebutan Teong mata rume.
Teong mata rumah dari tiap dati/ keluarga tentu berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Gelar adat dari tiap mata rumah telah ditetapkan oleh zaman datuk-datuk pada masa lampau.
Seluruh proses perkawinan adat mulai dari upacara masuk minta bini (meminang) sampai dengan penyerahan harta adat mata rumah dan negeri (kalau ada) dan kemudian upacara adat Kasi masuk bini di mata rumah si laki (Pamoy) semuanya itu merupakan satu paket uapcara adat yang adakalanya tidak selalu dapat dilaksanakan secara keseluruhannya sesuai situasi kondisi yang bersangkutan.
Adakalanya suami istri dari kalangan masyarakat Maluku yang sedang merantau di luar maluku setelah menikah balasan tahun, bahkan ada yang puluhan tahun baru dapat menjalankan ketentuan hukum adat Kasi masuk bini/pamoy atau kasi pake baju Mananol di dalam mata rumah si laki.
Beta mempunyai pengalaman seorang ibu yang berusia di atas 70 tahun dan ibu ini aslinya dari Pulau Jawa dan suaminya asli dari Maluku, pulau Seram dan telah meninggal dunia di negeri Belanda. Ibu yang sudah begitu tua ini dan adalah seorang putri Jawa begitu menjunjung tinggi dan rasa hormat terhadap ketentuan hukum adat negeri suaminya almarhum. Ibu ini berangkat dari negeri Belanda dan datang di negeri kampung halaman suaminya dan melaksanakan upacara adat Kasi pake baju Mananol di dalam mata rumah suaminya.
Setelah selesai acara Pamoy dan maksud-maksud lain dari si ibu ini kemudian ia kembali lagi ke negeri Belanda beta punya sautu pengalaman yang lain lagi sebagaimana beta uraikan di bawah ini antara lain :
Sepasang suami istri asli Maluku yang tinggal berdiam di Belanda mereka berdua mempunyai maksud dan rencana yang indah yaitu mereka berdua ingin sekali memenuhi ketentuan hukum adat yang telah ditetapkan oleh nenek moyang mereka yaitu si suami hendak memasukan istrinya secara resmi didalam mata rumah si suami sebagaimana telah ditetapkan negerinya.
Dengan bekal yang cukup berangkatlah suami istri dan seorang anaknya dari negeri Belanda pulang ke kampung halaman/ negeri sang suami dengan maksud dan rencana yang indah itu . setelah tiba di kampung halaman di Pulau Seram (nusa ina) alias pulau ibu sumber dan pohon hukum adat bagi masyarakat khususnya di Maluku Tengah, maka sebagaimana kaum keluarga berdoa serta menaikkan segala puji syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pelindung yang telah mengantarkan saudara-saudara mereka dari negeri Belanda dan telah tiba dengan selamat di negeri kampung halaman yang tercinta.
Selesai berdoa maka kemudian sang suami saudara mereka yang datang dari negeri Belanda ini menyampaikan isihatinya dan segala maksud dan rencananya yaitu untuk memasukkan istrinya secara adat di dalam mata ruma / rumah tua, di dalam bahasa tanah dikenal dengan sebutan “RUMA INAI / LUMA INAI/ RUMA MAA “NO”.
Setelah basudara-basudara yang berada di negeri/kampung halaman mendengar rencana saudaranya yang datang dari negeri Belanda itu, maka seorang yang tertua yang mendiami rumah tua mengatakan kepada sudaranya yang dari negeri Belanda itu bahwa kami dari keluarga disini sudah tidak lagi menjalankan adat-istiadat itu.
Kebiasaan itu kita jalankan juga tetapi tidak lagi dengan tata cara adat yang biasa dilakukan disini tetapi kita ganti dengan cara lain yaitu kita berdoa/sembayang dan selesailah cara dan maksud itu. Alangkah terkejut bercampur bingung menimpa saudara yang datang dari negeri Belanda bersama istri dan anaknya setelah mendengar penjelasan dari saudaranya yang berada di negerinya itu dan ia berdiam diri sebentar kemudian ia menjawab dan memberi penjelasan-penjelasan seperlunya kepada saudara-saudara yang berada di negeri itu antara lain sebagai berikut ; Basudara-basudara semua yang hadir disini terus terang saja beta betul-betul bingung dan tidak mengerti dan juga tidak dapat menerima alamberpikir dan cara berpikir basudara khususnya saudara beta yang tadi memberi tanggapan dan penjelasan atas beta punya maksud dan rencan autnuk mau melaksankaan acara adat Kasi pake baju Mananol kepada beta punya bini (pamoy) sebagaimana ketentuan hukum adat yang telah di tetapkan oleh moyang-moyang kita semua.
Beta dan keluarga sudah jauh-jauh dari negeri Belanda datang melihat negeri beta yang sudah puluhan tahun beta tidak melihat negeriku ini sekaligus beta ingin mau memasukkan beta punya bini secara adat di dalam beta punya mata ruma.
Menurut pikiran dan pendapat beta kalau hanya sembayang dan berdoa saja tentu hal ini dapat dilakukan di temapt mana atau negera mana saja karena Tuhan Allah ada di mana-mana di setiap sudut muka bumi ini tetapi mata ruma dan rumah tua beta hanya berada di satu tempat saja yaitu di negeri beta disini di lain-lain tempat tidak ada. Dan beta sudah jauh jauh dari negeri Belanda datang ke negeri ku jadi beta minta pengertian basudara semua jua tolonglah beta dengan maksud dan rencana beta yang indah ini sehingga semua ini dapat terlaksana dengan baik dan satu tanggung jawab, beta lagi sudah dapat beta selesaikan semoga Tuhan Allah juga lah memberkati dan menyertai kita semua.
Begitulah tanggapan dan sambutan serta permintaan saudara kita dari negeri Belanda itu kepada basudara-basudaranya yang berada di negeri. Dan setelah diadakan musayawarah di antara segenap kaum keluarga saudara bersaudara, maka diambil suatu keputusan bersama untuk menyetujui permintaan dan rencana saudara mereka dari negeri Belanda itu dan kemudian rencana tanggal pelaksanaan acara; Kasi pake baju mananol/Pamoy itu di tetapkan dan acara berjalan sesuai rencana.
Memang begitulah kenyataan yang ada sekarangini dibeberapa negeri di Maluku tengah dan memang benar ada keluarga-keluarga tertentu di masyarakat negeri yang menganut prinsip-prinsip hidup mereka semacam itu. Yah sembayang salah cukup tidak perlu lagi dengan upacara-upacara adat itu lagi dan memang itu adalah hak mereka.
Tetapi kalau beta di perkenankan untuk memberi tanggapan dan pendapat maka menurut hemat beta mengenai kisah tersebut di atas dapat beta uraikan penjelasan/pendapat beta antara lain sebagai berikut :
- Pertama-tama beta mohon maaf sebesar-besar nya dan sekali lagi beta menghormati dan menjunjung tinggi hak basudara-basudara semua untuk menganut prinsip-prinsip basudara-basudara, dan mengenai acara adat tentang pamoy tersebut dan diganti dengan acara sembayagn atau berdoa saja. Sebenarnya acara adat pamoy itu sendiri adalah merupakan suatu budaya/kultur/adat istiadat/ suatu bangsa/suku bangsa masyarakat dan dalam hal ini yang berada di Maluku Tengah pada khususnya dan maluku pada umumnya. Budaya atau kultur itu sendiri melambangkan/menunjukkan identitas/jati diri kita anak-anak cucu Maluku yang telah kita warisi sebagai peninggalan nenek moyang kita.
Dan kalau kita menghayati secara mendalam amanat yang terdapat didalam Kitab Suci Amsal Salomo 17:6 bagian akhir yang demikian bunyinya : “Kehormatan anak-anak adalah nenek moyang mereka”, ini berarti bagi kita bahwa adalah merupakan suatu kehormatan bagi kita karena kita mempunyai nenek moyang dan tentu nenek moyang kita mempunyai budaya, yang mereka tinggalkan selaku warisan untuk kita dan tentu merupakan pula suatu kehormatan bagi kita untuk memelihara dan melestarikan peninggalan moyang-moyang kita itu.
Tuhan Yesus sendiri pernah mengatakan kepada kaum Parisi sebagaimana tertulis di dalam kitab Injil Matius 22 : 21 = “bayarlah kepada kaisar (dunia) barang yang kaisar punya dan kepada Allah barang yang Allah punya”. (lht Roma 13:7). Mungkin kedua ayat ini dapat membantu kita untuk melihat pokok permasalahan secara lebih mendalam dan lebih luas jangkauan pemikiran kita.
Ada pendapat dan penilaian secara umum oleh masyarakat yang mengatakan Agama Kristen identik dengan orang barat dan agama Islam identik dengan orang Arab, ini tentu pendapat yang keliru. Kita boleh saja memeluk agama Kristen, tetapi kita tidak perlu menjadi orang barat, begitu pula kita boleh memeluk agama Islam, tetapi kita tidak perlu menjadi orang Arab.
Kita tetap mempertahankan serta memelihara status ktia selaku anak-anak cucu Maluku yang telah kita miliki selaku warisan moyang-moyang lengkap dengan budayanya yang dipandang baik dan berkenan dihapan Allah Yang Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta, dan inilah identitas kita. Janganlah kita tercabut dari pohon dan akar budaya kita hanya disebabkan pengaruh-pengaruh budaya dan fanatisme yang datang dari luar.
- Tuhan Allah telah menciptakan dan menempatkan bangsa-bangsa, suku-suku bangsa dan masyarakat di seluruh maka bumi dan menempatkan mereka di tempat wilayah/ daerahnya masing-masing lengkap pula budayanya masing-masing.
- Ditambahkan pula sedangkan di dalam upacara adat pamoy terdapat sub-sub acara yang juga dilakukan pula acara berdoa/sembayang. Menurut hemat dan pendapat beta memang sebagai umat yang percaya kepada Allah.
Allah Yang Maha Kuasa supaya tiap-tiap langkah perjalanan hidup kita dan tiap-tiap rencana untuk melaksanakan maksud dan pekerjaan-pekerjaan kita seharusnya kita datang dengan kerendahan hati kita kepada Allah serta memohon kepadanya kiranya semua pekerjaan-pekerjaan kita itu boleh berkenan di hadapan Allah dan kiranya Allah mengajar kita dengan roh-nya yang kudus bahwa semua rencana pekerjaan dan maksud-maksud yang kita jalankan atau kerjakan itu hanya untuk memuliakan dan membesarkan nama Allah semata-mata. Semua ini harus kita gumuli dan membawanya dalam doa kita kepada Allah, beta yakin semua rencana yang kita laksanakan pasti berjalan lancar dan sekaligus pula kita dapat memelihara dan melestarikan budaya kita yang adalah identitas kita anak-anak cucu Maluku. Beta lalu teringat pada suatu hari di tahun 1966 di dalam suatu acara pengantaran dan penyerahan alat-alat penjamuan kudus dari gereja GPM, negeri Makariki Alat-alat Perjamuan Kudus adalah suatu persembahan/pemberian dari anak-anak negeri Makariki dan saudara-bersaudara negeri Amahei-Soahuku dan Haruku yang berada di negeri Belanda dan beta sendiri (penulis) yang kebetulan sedang ditugaskan oleh perusahaan negara ke negeri Belanda dan beta sendiri yang menerimanya dari dalam tangan basudara-basudara yang berada di negeri Belanda dengan permintaan mereka kalau boleh beta dapat membantu mereka untuk membawa alat-alat Perjamuan Kudus itu ke negeri makarii dan menyerahkannya kepada Majelis jemaat Gereja Proetstan maluku di negeri Makariki. Beta menyanggupinya dan membawa alat-alat Perjamuan Kudus itu dan setelah beta tiba kembali di jakarta langsung beta mengatur waktu dan kesempatanuntuk berangkat ke Ambon dan terus ke Amahei. Di Amahei diadakan hubungan dneganbasudara-basudara dari negeri makariki dan majelis jemaat seetmpat, beta beserta rombongan berangkat dari Amahei menuju ke Makariki dan pada waktu itu belum ada kendaraan umum seperti sekarang. Kami berangkat dengan menggunakan traktor dari dinas Pertanian dengan membawa bak gandengan, kemudian barang-barang itu dan orang-orang naik ke dalam bak gandengan dan menuju Makariki, jalanan ke Makariki rusak total. Di perbatasan negeri Makariki rombongan kami disambut oleh orkes suling negeri Makariki beserta rakyatnya kemudian rombongan kami diantar ke rumah bapak raja/kepala adat negeri Makariki bapak Agus Wattimena. Rombongan kami diterima dengan suatu upacara adat sebelum kami dipersilahkan masuk ke rumah bapak raja/kepala adat. Selesai acara di rumah Bapak Raja, kita semua menuju ke gedung gereja negeri Makariki untuk melaksanakan acara penyerahan alat-alat Perjamuan Kudus ada kata sambutan yang disampaikan oleh bapak Pendeta Tetelepta dari kantor clasis Gereja Protestan Maluku di masohi yang sangat menarik sekali dan dapat menggugah/menjentuh hatikita semua selaku anak-anak Maluku.
Di dalam kata sambutannya beliau mengatakan, bahwa upacara adat menjambut kedatangan rombongan dari Amahei begitu indah dan manis begitu pula upacara-upacara adat lainnya yang pernah beliau saksikan semuanya indah dan menggambarkan karunia dan rahmat Allah. Boleh dapat dikatakan hukum adat yang ada di Maluku ini dapat kita katakan “Hukum Adat yang di Perkuduskan begitulah kata sambutan beliau”.
Bagi beta merupakan istilah yang baru lagi dan beta kira bagai semua selaku anak-anak adat Maluku perlu menghayati dan merenungkannya.
Nah basudara-basudara semua inilah tanggapan dan pendapat beta, kena mengenai yang dialami oleh saudara-saudara kita suami istri yang datang dari negeri Belanda walaupun mendapat sedikit kesulitan tetapi pada akhirnya dengan berkat serta pengasihan Allah Yang Maha Pengasih rencana mereka sudah boleh mereka jalankan dengan baik.

Tentang upacara adat Kasi pake Baju Mananol/ bawa masuk binidi dalam mata ruma lelaki atau Pamoy.
1. Kedua belah pihak suami istri mengadakan persiapan-persiapan seperlunya baik secara lahiriah maupun bathiniah termasuk mendekatkan diri kepada Allah, bergumul dan berdoa menyerahkan semua rencana acara.
2. PERHATIAN : Perlu diketahui bahwa adakalanya ketentuan-ketentuan hukum adat tentang upacara pamoy/kasi masuk bini di dalam matarum si lelaki terdapat perbedaan-perbedaan kecil sehubungan dengan adat istiadat setempat tapi pada umumnya garis besarnya sama.
3. CATATAN : Bagi si istri berlaku ketentuan selama ia belum menjalankan upacara pamoy, ia dilarang makan dan minum di dalam mata ruma si lelaki. Walaupun ia diperbolehkan tinggal bersama suaminya dan anak-anaknya di dalam rumah tua si lelaki, bila si istri mau makan dan minum ia harus lakukan itu di luar atap rumah atau ia pergi duduk di sebelah rumah tetangga dan di situ ia makan dan minum.
4. Pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan untuk melaksanakan upacara adat ; Kasi pake baju Mananol (kasi masuk bini di dalam mata ruma laki/ pamoy, dan biasa-biasanya pada hari Kamis pada saat air laut sedang surut (mau meti di laut). Pada hari itu sebelum upacara di mulai si istri sudah akan terlebih dahulu ke salah satu mata ruma dengan suaminya dan di rumah keluarga itu untuk sementara waktu si istri menunggu bersiap-siap untuk di jemput oleh utusan dari pihak keluarga si suami. Si istri menunggu di dampingi oleh kaum kerabatnya/ keluarga.
5. sementara di mata ruma/ rumah tua si suami kaum kerabat/keluarga dari pihak suami dan para undangan lainnya lengkap dengan pakaian adat sambil menunggu saat-saat pelaksanaan upacara adat pamoy. Biasanya suasana di mata ruma si laki di ramaikan degan irama dan nada tifa toto buang dengan diiringi kapata-kapata toto buang.
6. tepat pada saat acara adat dimulai dankepada saudara-saudara yang di tugaskan untuk menjemput si istri dimintakan untuk menjalankan tugasnya, maka mulailah pemimpin utusan memberi penghormatan adat ke pada mata ruma si laki dn segenap hadirin dan undangan dan mengumumkan maksud keberangkatan mereka menjemput si istri, seluruh acara ini berlangsung di dalam bahasa tanah. Dan berangkatlah utusan serta rombongannya dengan diiringi irama dan nada tifa totobuang.
7. setelah tiba dirumah keluarga di mana si istri beserta kaum kerabatnya sedang menunggu, maka mulailah pemimpin rombongan utusan mata ruma si laki menyampaikan penghormatan adat kepada mata ruma/ keluarga di mana I istri menunggu begitu pula kepada segenap kaum kerabat yang mendampingi si istri dan kemudian pemimpin rombongan mata ruma si laki menyatakan maksud kedatangan nya.
8. pihak keluarga di mana si istri sedang menunggu kemudian membalas penghormatan adat kepada rombongan utusan mata ruma si laki dan kemudian rombongan di persilahkan masuk. Setelah masuk acara dilanjutkan dengan berdoa di rumah ekluarga di mana si istri menunggu, kemudian rombongan utusan mata ruma si laki bersama-sama rombongan keluarga yang mendampingi si istri keluar dari rumahnya dan berjalan dengan hikmah menuju mataruma si laki.
9. setelah mendekati mata ruma si laki maka terdengarlah irama dan nada tifa totobuang mulia mengumandang di udara selaku pertanda rombongan si istri hampir tiba di tempat upacara.
10. setelah tiba dimuka mata ruma si laki pemimpin rombongan utusan mata ruma si istri menyampaikan penghormatan adat kepada mata ruma si laki dan segenap hadirin dan undangan menyatakan, bahwa kini mereka telah membawa si istri beserta rombongannya dan telah siap untuk menjalankan upacara adat pamoy.
11. yang tertua dari mata ruma si laki menyambut dan membalas penghormatan adat kepada segenap rombongan kaum kerabat si istri dan dipersilahkan memasuki mata ruma si laki.
12. sebelum si istri memasuki mata ruma silaki ada pula suatu acara dimana kedua belah kaki si istri dan dikebas dengan segenggam daun gadiku yang dicelup di dalam air kelapa. Acara air pencuci ini melambangkan dan mempunyai arti supaya hidup yang lama dari si istri itu sudah dihapus dan di buang ke laut dan di bawa oleh arus air laut yang dibawa oleh arus air laut yang pada saat itu sedang surut (meti) dibawa arus jauh-jauh ke laut yang bebas dan tidak akan kembali lagi.
13. kemudian si istri didampingi oleh kakek dan nenek yang tertua dari mata ruma si laki diantara masuk ke kamar bersama-sama beberapa anggota keluarga perempuan dari mataruma si laki dan kemudian memberi beberapa pengarahan kepada si istri oleh kakek dan nenek tentang maksud dari acara pamoy ini.
14. kemudian di lanjutkan dengan acara berdoa dan selesai berdoa, maka si kakek dengan di saksikan oleh nenek dan beberapa anggota perempuan dari mataruma si laki menyarungkan baju adat warna hitam kepada si istri (sebelumnya baju cele atau kebaya yang digunakan si istri dibuka). Pada saat si kakek menyarungkan baju adat warna hitam itu (baju cele) kepada si istri ia memberikan gelar adat mataruma si laki kepada si istri dan mengatakan kepada si istri bahwa mulai dari saat ini secara adat kamu akan mempergunakan nama adat mataruma kita, misalnya secara fiktif saja ya antara lain “INA MARASAMA LATURESI”, ini contohnya saja.
15. Selesai acara di dalam kamar, maka keluarlah mereka dari dalam kamar dan menuju kedapur dan kepada si istri di persilahkan untuk meminum air seteguk dari tempayan dan kemudian si istri dipersilahkan menuju ketungku dan menginjak tungku.
Kedua acara ini mempunyai arti Air menjegarkan dan menentramkan hidup dan menginjak tungku mempunyai arti serta melambangkan tanggung jawab si istri untuk melayani suami dan keluarganya mempersiapkan makanan kepada keluarganya.
16. Selesai acara tersebut diatas, maka acara kemudian ialah si istri menyuguhkan sirih pinang kepada kepala adat dan anggota-anggota lembaga adat (Saniri Negeri) dan para undangan lainnya sambil kakek dan nenek memperkenalkan kepada si istri anggota keluarga lainnya dari mataruma begitu pula para undangan lainnya.
17. Selesai acara tersebut diatas, maka acara selanjutnya ialah : si istri bersama-sama istri-istri dari mataruma yang sama juga bersama pula dengan para undangan lainnya. Mereka makan khas makanan-makanan adat misalnya : Sagu – Ubi – Singkong – Pepeda – Ikan dan lain-lain lagi, semuanya dilakukan berbuka tikar sedangkan sementara suara irama dan nada tifa totobubuang berkumandang terus.

Kini marilah kita beralih kepada salah satu segi hukum adat yang lain lagi yaitu : “HUKUM DENDA”.
1. Melanggar ketentuan Hukum Konyadu (Ipa r)
Di dalam kehidupan bermasyarakat seorang Konyadu atau ipar itu sangat di junjung tinggi dan angat dihormati, terlebih lagi. Konyadu / ipar perempuan yang terbentuk ikatan iparnya sebagai berikut : Seorang suami mempunyai seorang istri dan istrinya ini mempunyai seorang adik atau kakak laki-laki dan mereka-mereka ini juga berkeluarga dan dengan sendirinya masing-masing mempunyai istri juga.
Kita memberi tanda pengenal saja kepada si suami tersebut diatas dengan sebutan laki-laki (A), sedangkan bagi istrinya perempuan (A), pula. Dan bagi adik-adik laki-laki / kakak-kakak dari perempuan (A), dengan sebutan laki-laki (B), dan bagi istri-istrinya perempuan-perempuan (B), pula sesuai ketentuan hukum adat yang berlaku di dalam Hukum Konyadu (Ipar) ini, laki-laki (A) dilarang dengan adik-adik atau kakak-kakak perempuan sekandung seibu sebapak dari perempuan (A). karena mereka-mereka ini dianggap juga saudara-saudara yang terdekat pula oleh laki-laki (A), walaupun mereka-mereka ini adalah juga upar-ipar dari laki-laki (A), walaupun mereka-mereka ini adalah juga ipar-ipar dari laki-laki (A), boleh dikatakan ipar-ipar tingkat I, sedangkan perempuan (B) adalah ipar tingkat II.
Sebaliknya hukum Konyadu ini berlaku juga bagi istri/perempuan (A). terhadap suami/laki dari adik-adik/kakak-kakak perempuan dari suami/laki mereka yang juga adalah ipar tingkat II, bagi mereka laki-laki (A) juga dilarang menyikap/membuka gaun/gordyn pintu kamar tidur perempuan (B), dan harus menghindari jagnan sampai bersentuhan badan dengan perempuan (B), pada saat masuk keluar pintu atau didalam rumah dan pada waktu saat sedang berjalan ditempat manapun.
Laki-laki (A) di larang sangat melihat perempuan (B) baik sengaja maupun tidak dengan sengaja, pada saat perempuan (B) sedang kebetulan mandi di perigi/sumur dengan terikat kain/sarung di dadanya dan dengan rambutnya lepas terurai sampai di bahu/pundaknya.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan sanksi-sanksi denda adat yang merupai membayar beberapa buah pinggang baru/piring batu kuno pada waktu dulu dan pada saat sekarang ini dengan piring-piring putih.
Untuk pelanggaran sengaja atau tidak dengan sengaja oleh laki-laki (A) melihat perempuan (B) mandi parigi/sumur dengan terikat kain/sarung di dadanya dan rambutnya lepas terurai sampai bahu/ pundaknya, sanksi denda adat diperberat lagi dengan membayar denda jumlah piring jauh lebih banyak lagi.
Bahkan ada semacam suatu falsafah yang hidup ditengah-tengah kalangan masyarakat hukum adat di negeri-negeri yaitu jangan sekali-kali kita mentertawakan Konyadu-konyadu/ipar (hubungan ipar-ipar), bila ipar-ipar itu melakukan atau berbicara sesuatu hal yang dianggap bodoh. Kalau kita mentertawakan dia maka kita akan mengalami hal-hal yang merugikan kita pada waktu kita dalam perjalanan pulang menuju kerumah kita, misalnya di tengah jalan kita akan tersentuh batu dan jatuh atau ditengah jalan kita akan di gigit anjing atau ular dan kalau hal semacam ini terjadi maka orang-orang yang berjlaan bersama kita itu langsung secara spontan akan mengatakan kepada kita, nah itu upahmulah, tadi kamu mentertawakan Konyadumu/iparmu kan, karena hukum Konyadu mendapat tempat terhormat dan dijunjung tinggi.
Nah begitulah datuk-datuk/mooyang-moyagn kita sudah dapat mengatur ketertiban kehidupan bermasyarakat walaupun dengan segala keterbelakangannya tetapi mereka sudah berpikir maju….. percaya atau tidak tetapi kenyataan-kenyataan itu seringkali muncul kepermukaan.
2. Melanggar janji atau tidak tepat waktu
Sesuatu pihak akan dikenakan sanksi denda adat bilamana ia melangar janji atau datang tidak tepat waktu yang menyangkut suatu upacara adat janji atau datang tidak tepat waktu yang menyangkut suatu upacara adat yang bersifat kekeluargaan antara lain misalnya : Upacara adat masuk minta bini (melamar seorang gadis untuk dinikahkan), upacara adat untuk mengantar/menyerahkan/memasukkan seorang anak kepada atau ke dalam suatu mata ruma/ keluarga sebagai pengganti harta adat perkawinan atau dengan maksud dan tujuan lain pula.
Terhadap pihak yang melanggar akan dikenakan denda adat yang merupai pinggang batu/piring tua kuno atau sirih pinang lengkap dengan minuman sopi/jenever.
3. Melanggar Tata Krama atau Sopan Santun terhadap Lembaga Adat Negeri
Seseorang akan dikenakan sanksi adat bilamana ia berprilaku tidak opan terhadap Lembaga Adat Negeri cq pejabat-pejabat adat negeri. Bilamana hal semacam itu terjadi maka Lembaga Adat Negeri/Saniri Negeri akan bersidang dan membahas pokok persoalan tersebut serta memutuskan menetapkan jenis hukuman atau denda adat terhadap orang yang bersangkutan bisa merupai membayar pinggang batu/piring kuno dan atau juga bisa merupai kerja paksa beberapa hari untuk kepentingan negeri dan kalau itu anak muda atau remaja ia dikenakan hukuman pukulan rotan sebanyak 9 atau 5 kali sesuai status adat negeri (PATA SIWA/PATA LIMA).

Marilah kita beralih kepada salah satu segi hukum yang lain lagi yaitu HUKUM PELA dengan segala kaitannya yang antara lain kami uraikan sebagai berikut : Pertama-tama mari kita menyimak apa arti akta “PELA” itu, kata Pela mempunyai beberapa arti antara lain :
1. Pela ; tato-tato yang terdapat pada seorang pria/ pemuda ataupun seorang pemudi yang dalam hal tato-tato ini dikenal dengan sebutan “PELA”PELA”.
Perlu diberi penjelasan tambahan sedikit tentang hal tato-tato ini terdapat pada pemuda yang tergabugn di dalam kesatuan-kesatuan anggota-anggota “KAKEHAN” yang terkenal di dalam rumpun masyarakat Pata Siwa Hita (Pata Siwa Metene). Pada pria adakalanya terdapat pada bagian dada, lengan tangan dekat bahu kiri dan kanan dan juga pada bagian belakang tangan kiri dan kanan antara jari-jari induk dan telunjuk.
Pada wanita tato-tato ini terdapat pada Testa (jidad), tanda-tanda tato-tato tersebut sebenarnya merupakan suatu kdoe yang bersifat sangat rahasia yang menunjukkan tempat-tempat dimana para pemuda kakehan itu dilatih dan digembleng oleh para Maweng dan Malesi Iralo/Kapitan Besar.
Tempat-tempat latihan dan acara ritual ini sangat dirahasiakan dengan ketat sekali oleh anggota-anggota Kakehan itu. Ketentuan-ketentuannya ialah barang siapa saja yang membuka rahasia itu, hukumannya ialah mati di bunuh.
Tentara Belanda yang dikenal dengan sebutan Kompeni sangat takut menghadapi serangan-serangan pemuda-pemuda Kakehan ini dan banyak korban jatuh di pihak kompeni sehingga dianggap perlu oleh pemerintah Belanda untuk memberlakukan keadaan darurat perang (S.O.B.) di seluruh pulau Seram dan berlangsung terus menerus sampai pada tahun 1935, baru kemudian keadaan SOB ini dicabut. Selama keadaan SOB ini berlaku maka di pulau Seram berlaku Pemerintahan Militer Laut dan Banda berlaku pemerintahan Sipil (Cievile Gezaghebbers).
Sejarah lahirnya atau terbentuknya perikatan-perikatan persaudaraan atau Pela sudah berlangsung berabad-abad lamanya sejak dari zaman moyang-moyang/datuk-datuk di Maluku.
Asal mulanya terbentuknya perikatan persaudaraan dari suatu negeri dengan negeri yang lain yang kita kenal dengan sebutan “ANGKAT PELA” bisa terjadi oleh beberapa faktor atau situasi dan kondisi sesuatu negeri dan masyarakatnya misalnya; Dalam menghadapi sesuatu peperangan/perselisihan dimana sesuatu negeri dan rakyatnya harus menghadapi lawannya yang jauh lebih kuat, maka negeri yang merasa dirinya kurang kuat mencari bantuan negeri yang mana kemudian negeri yang lain secara spontan membantu negeri dan rakyatnya yang tertimpa musibah itu atau sesuatu negeri membantu negeri yang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital dari negeri dan rakyatnya yang membutuhkan sarana-sarana itu atau berdasarkan sejarah moyang-moyagn sesuatu negeri mempunyai hubungan darah/keluarga dengan negeri yang lain walaupun mereka-mereka itu terpisah dan berada di pulau-pulau yang berbeda.
Demikianlah beberapa faktor dan juga adapula faktor-faktor lain yang muncul kepermukaan juga turut berperan melahirkan dan membentuk perikatan-perikatan persaudaraan yang dikenal dengan sebutan “PELA”.
Kemudian perikatan-perikatan persaudaraan itu dikukuh dalam suatu upacara adat yang bersifat sakral disertai janji-janji dan sumpah-sumpah secara adat yang turut mengikat dan membentuk perikatan-perikatan bersaudara/pela itu dan diberlakukan turun temurun beserta rakyatnya dari negeri-negeri yang bersangkutan. Upacara-upacara adat semacam ini kita kenal dengan sebutan “ANGKAT PELA”.
Pada zaman dahulu kala zaman moyang-moyang kita bahkan terdapat pula ikatan-ikatan pela antara keluarga/dati atau mataruma tetapi pada saat sekarang ini pengaruh-pengaruhnya sudah tidak nampak lagi. Yang masih nampak dan masih mempunyai pengaruh yang sangat kuat sekali sampai sekarang ini ialah perikatan persaudaraan atau pela antara negeri walaupun di pulau-pulau yang berbeda.
Ikatan-ikatan pela tidak (perlu digaris dibawahi tidak) memandang agama sehingga dengan demikian di Maluku Tengah pada khususnya banyak sekali terdapat perikatan-perikatan persaudaraan atau pela antara negeri-negeri negeri-negeri yang beragama Islam dengan negeri-negeri yang beragam kristen dan inilah yang menjadi lambang jati diri serta kesatuan dan kekuatan anak-anak cucu Maluku yang berpijak / berdiri serta hidup atas dasar yang telah ditetapkan oleh nenek moyang / datuk-datuk Maluku melalui janji-janji dan petuah-petuahnya didalam satu kapata dalam bahasa tanah yang isinya dan bunyinya sebagai berikut :
“UPU AMA KARU PELA E KARU PELA NIA
UPU AMA LEPA PELA E LESPA PELE NIA”
Artinya :
Moyang-moyang kita sudah meletakkan suatu dasar hidup bagi kita dan dasar itulah yang menjadi juga pedoman bagi kehidupan kita. Moyang-moyang kita telah berpesan dan mengingatkan kita, ingatlah akan pesan dan janji-janji yang moyang kita itu.
Kita semua sebagai anak-anak cucu Maluku patut bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan Allah Yang Maha Kuasa lagi pula maha Pengasih dan Maha Penyayang bahwa dalam kenyataannya sampai sekarang ini unsur adat pela itu tetap mempunyai pengaruh yang sangat kuat didalam kehidupan bermasyarakat di Maluku bahkan dibawa-bawa sampai keluar Maluku di tanah perantauan walau pun harus berhadapan banyak tantangan zaman modern ini.
Pela adalah ciri khas budaya Maluku yang menggambarkan rasa kepedulian sosial antar sesama manusia, kerukunan antar umat beragama yang sudah berabad-abad lamanya ditanam dan dibina oleh moyang-moyang Maluku dan anak-anak cucunya sampai sekarang ini.
Beta lalu teringat akan pernyataan Menteri Agama Bpk. Dr. Tarmizi Taher di dalam sidang raya Synode Gereja Protestan Maluku di Ambon tahun 1995 dimana beliau mengatakan : bahwa kehidupan kerukunan antar umat beragama di Maluku ini sudah lama melembaga di dalam hukum adat masyarakatnya yang dikenal dengan sebutannya “PELA”.
Memang benar pernyataan Bapak Menteri Agama dan semua ini dapat dibuktikan pada saat pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan pembagnunanr umah-rumah ibadah, baik mesjid maupun gereja.
Di negeri-negeri yang penduduknya/rakyatnya memeluk agama Islam dan yang mempunyai ikatan pela dengan negeri-negeri yang penduduknya memeluk agama Kristen bilamana ada pekerjaan-pekerjaan pembangunan Mesjid maka saudara-saudara pelanya yang beragama Kristen itu datang walaupun dari jauh dan harus menyebrang laut, karena berada di lain pulau tetapi yang pasti mereka-mereka saudara-saudara pelanya itu pasti datang untuk secara langsung turut bekerja dalam pembangunan Masjid itu dan saudara-saudara pelanya yang beragama Kristen itu di tampung di rumah-rumah saudara-saudara pelanya dan melayani segala kebutuhannya secara Cuma-Cuma selama saudara-saudara pelanya dan melayani segala kebutuhannya secara cuma-Cuma selama saudara-saudaranya itu berada di negeri untuk melaksanakan pembangunan mesjid itu.
Begitu pula akan terjadi sebaliknya bilamana ada pekerjaan-pekerjaan pembangunan gereja. Aksi dan usaha-usaha turut membantu proyek-proyek pembangunan Masjid atau Gereja itu bukan hanya dilakukan oleh masyarakat yang berikatan pela di Maluku saja tetapi bergerak lebih luas lagi yaitu juga masyarakat terutama saudara-saudaranya yang berada di kota-kota besar bahkan bisa sampai keluar negeri.
Segala daya dan dana dikerahkan atas dasar persatuan dan kesatuan yang terikat di dalam perikatan persaudaraan yang kita kenal dengan sebutan “PELA” yang telah dibentuk oleh moyang-moyang kita dimasa lampau dan yang kini terjadi warisan bagi generasi kita sekarang ini dan seterusnya. Penulis menghimbau dan mengingatkan generasi muda-muda Maluku untuk tetap teguh memelihara dan melestarikan warisan peninggalan nenek moyang-moyang maluku yang indah ini sangat berharga pula bagi kita semua.
Di Maluku Tengah terdapat beberapa jenis Ikatan Pela / Perikatan persaudaraan antar lain sebagai berikut :
1. Pela batu Karang
2. Pela Keras
3. Pela Gandong/adik kakak
4. Pela Minum Darah
5. Pela Tempat Sirih
Selanjutnya akan diuraikan di bawah ini beberapa ikatan Pela jenis-jenis perikatannya antara negeri Islam dan Kristen sesuai beberapa catatan yang ada pada kami dan menurut apa yang kami tau dan untuk sebelumnya beta mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua pihak terutama kepada Lembaga-lembaga Adat/Badan-badan Saniri Negeri dari negeri-negeri yang bersangkutan bila terdapat kesalahan-kesalahan / kekeliruan-kekeliruan dalam uraian dan keterangan-keterangan beta ini. Beta harap dengan sangat supaya dikoreksi dan diperbaiki untuk kepentingan kita bersama dan generasi-generasi kita yang akan datang.
1. Negeri Ailulu (Islam) dengan negeri-negeri Paperu (Kristen), Tiouw (Kristen), Tulehu (Islam), Tial (Islam), Sila (Kristen), Laimu (Islam) dan Hulaliuw (Kristen), semuanya ikatan Pela Gandong, Hukumnya perkawinan dilarang.
2. Negeri Sirisori Islam dan SIrisori Serani/Kristen dengan negeri-negeri Hutumuri (Kristen) dan Tmilouw (Islam), jenis ikatan Pela adalah Pela Gandong/ Adik, kakak dan hukumnya perkawinan dilarang.
3. Negeri Titawai (Kristen) dengan negeri-negeri Pelauw (Islam) dan jenis ikatan Pela adalah Pela Batu Karang, dan hukumnya perkawinan dilarang. Dengan Negeri Sepa (Islam), jenis iaktan Pela adalah pela Tempat Sirih, perkawinan tidak dilarang dan dengan negeri Sahulau (Kristen), jenis ikatan Pela adalah Pela Keras (Tentang Perkawinan status kurang jelas).
4. negeri Haria (Kristen) dengan generasi Sirisori Islam jenis ikatan Pela ini adalah Pela Keras dan hukumnya perkawinan dilarang dengan negeri-negeri Hative (Kristen), Lilibooy (Kristen), Paperu (Kristen jenis ikatan Pela adalah Pela Keras dan hukumnya Perkawinan dilarang.
5. negeri Ihamahu (Kristen) dengan negeri Amahei Serani, jenis ikatan Pela adalah Pela Gandong karena Gereja dan hukumnya, perkawinan dilarang, dengan negeri ihaluhu (Islam), jenis ikatan Pela adalah Pela Gandong/Adik Kakak dan hukumnya perkawinan dilarang.
6. Negeri Kariuw (Kristen) dengan negeri-negeri Hualoy (Islam), Booy (Kristen) dan Aboru (Kristen), jenis ikatan pela adalah Pela Batu Karang dan tentang status perkawinan kurang jelas.
7. Negeri Ulath (Kristen) dengan negeri-negeri Oma (Kristen), Boano (Islam dan Kristen), jenis ikatan pela adalah Pela Batu Karang/Gandong dan hukumnya perkawinan dilarang, juga dengan neger0negeri Zeith (Islam) Iha (Islam), Tuhaha (Kristen) jenis ikatan pela adalah Pela Gandong dan hukumnya Perkawinan dilarang.
Juga dengan negeri Ameth (Kristen), jenis ikatan pela adalah Pela Tempat Sirih dan tentang perkawinan tidak dilarang.
8. Negeri batu Mewah (Islam) dengan negeri Passo (Kristen), jenis ikatan Pela adalah Pela Keras dan hukumnya perkawinan dilarang.
9. negeri Amahusu (Kristen) dengan negeri Laha (Islam) jenis ikatan pela adalah Pela Gandong dan hukumnya adalah perkawinan dilarang.
Dengan negeri Hatalai, jenis Ikatan Pela adalah Pela Keras/ Pela Minum Darah, tentang perkawinan kurang jelas.
Demikianlah beberapa catatan dan keetrangan tentang beberapa jenis ikatan Pela antar negeri-negeri Islam dan Kristen yang terdapat di maluku tengah. Selanjutnya beta kemukakan disini tentang ketentuan-ketentuan Hukum Adat yang berlaku secara umum bagi Perikanan-perikanan Pela yaitu antara lain sebagai berikut :
- Negeri-negeri yang mempunyai ikatan-ikatan Pela satu sama yang lain wajib dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum Pela satu sama yang lain wajib dan moyang-moyang/datuk-datuknya. Rakyat dari negeri-negeri yang bersangkutan bersama lembaga-lembaga adat. Badan-badan Seniri negerinya memelihara serta megnawasi berjalannya ketentuan-ketentuan hukum tersebut.
- Negeri-negeri yang mempunyai perikatan-perikatan pela satu sama yang lain wajib saling membantu baik didalam keadaan sukacita maupun dukacita.
- Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum Pela tersebut diatas dikenakan sanksi-sanksi adat baik secara nyata/langsung maupun secara tidak nyata/tidak langsung perlu diolah oleh pemikiran-pemikiran setiap individu/setiap orang dengan rasio dan rasa yang jelas dan pasti di dunia ini setiap pelanggaran hukum maka si pelangar ini pasti di hukum pula tinggal saja sial berat dan ringan hukumannya yang diberlakukan terhadap si pelanggar sesuai dalam ringan hukumannya yang diberlakukan terhadap si pelanggar sesuai dengan perbuatan si pelanggar. Ada pribahasa yang mengatakan “Apa yang kamu tanam, itulah yang kamu makan”.
Dan masyarakat hukum adat Maluku pada umumnya itu percaya adanya kekuatan-kekuatan hukum itu baik yang nampak nyata maupun yang tidak nyata. Buat orang berat mungkin teori seperti ini tidak dapat diterima tetapi bagi orang timur, hal-hal seperti di maksud di atas dinilai sah-sah dan wajar-wajar saja,
Dan kini marilah kita beralih ke suatu segi hukum adat yang lain lagi yaitu : Hukum tentang hak dan kewajiban masyarakat (laki-laki dan perempuan dewasa).
- Segenap anggota masyarakat hukum adat laki-laki dan perempuan dewasa mempunyai hak suara di dalam rapat-rapat Saniri Besar atau Rapat Negeri.
- Segenap anggota masyarakat hukum adat laki-laki dan perempuan dewasa yang ingin memiliki tanah milik adat untuk dikelola dan diusahakan olehnya sendiri terlepas dari ikatan-ikatan kekerabatan mataruma/dati/keluarga berhak memperoleh tanah milik adat melalui prosedur-prosedur adat yang diatur oleh Lembaga adat/Badan Saniri Negeri.
- Segenap anggota masyarakat hukum adat berhak atas perlindungan keselamatan harta miliknya dalam arti yang luar yang diperolehnya dari lembaga dati/badan saniri negeri.
- Segenap anggota masyarakat hukum adat mempunyai kewajiban untuk memelihara ketertiban, keamanan dan keselamatan negeri.
- Segenap anggota masyarakat hukum adat mempunyai kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan negeri yang telah diputuskan/ditetapkan didalam rapat-rapat Saneri Besar/ Saneri Negeri dan begitu pula kegiatan lainnya yang digariskan/ditetapkan oelh Badan Saneri Negeri.
Demikianlah sekilas penjelasan dan uraian beta dalam penulisan beta di bagian no 9 dengan judul “ADAT DAN MASYARAKAT MALUKU TENGAH”.
Ini dan melalui kesempatan ini juga penulis ingin mengemukakan kepada segenap pembaca majalah Tifa Masnait bahwa penulis telah sampai pada bagian terakhir dari tulisan-tulisan dengan judul “ADAT DAN MASYARAKAT MALUKU TENGAH”. Atas segala perhatian pembaca penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Semoga Tuhan Allah memberkati kita semua dan marilah kita memanjatkan doa kita kepada Allah, kiranya Tuhan Allah memberi kekuatan dan kemampuan bagi pengasuh dan seluruh staf Redaksi Tifa Masnait untuk selalu tampil dengan semangat juagn yang kita miliki dari moyang-moyang Maluku dengan pekik perjuangan “LAWA MENA HAU LALA”.
Dan akhirnya terimalah salam dan hormat dari beta sampai kita bertemu lagi di lain kesempatan.
 
Hormate……………….. oe Tabianya Waupo Basudara Sopaaa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar